ALASAN MENJADI ISTRI PRAJURIT TNI AD
ALASAN MENJADI ISTRI PRAJURIT TNI AD

By admin 02 Mar 2022, 05:00:58 WIT Persit

Mengapa saya bersedia menjadi istri prajurit TNI AD?

       Perkenalan saya dengan suami terjadi disebuah pusat pertokoan di Jakarta Selatan sekitar 25 tahun silam. Ia adalah salah satu rekan karib suami teman saya yang pengantin baru statusnya. Sosok militer bukanlah kalangan yang cukup saya akrabi dalam dunia yang saya kenal. Namun buat saya, mendapat tambahan teman dari kalangan ini bukanlah hal yang merugikan.

        Saya berasal dari keluarga sipil, saya keturunan Tionghoa dari seorang ayah yang besar di Tuban, Jawa Timur dan seorang ibu yang tumbuh di Purbalingga, Jawa Tengah. Saat itu saya sudah bekerja di sebuah bank swasta. Sepanjang ingatan saya, sosok militer lekat dengan kekuasaan, kekerasan dan dan kekakuan yang mutlak. Dan tentu saja, senjata. Tak lama setelah perkenalan yang tidak berkesan, kunjungan perdana yang tidak pernah saya duga terjadi. Suasananya cukup formal ibarat wawancara calon nasabah yang sedang mengajukan proposal kredit. Namun demikian, sesekali gelak tawa juga menghiasi percakapan kami.

        Kunjungan kedua terjadi dengan kejutan yang besar bukan saja bagi saya namun bagi kedua orang tua saya. Karena saat itu, ia datang bersama dengan kedua orang tuanya. Otak saya dipenuhi dengan sejuta tanya. Apalagi ketika orang tuanya mengajukan pertanyaan kapan tanggal yang baik untuk pernikahan kami. Sejenak di jiwa saya serasa berselancar di planet Pluto. Beruntung saya sudah cukup terlatih untuk mengendalikan emosi saat berhadapan dengan nasabah dengan permintaan maupun keluhan yang tiada henti. Sambil menata hati dan pikiran yang seperti tidak mau berkompromi dengan situasi yang dibutuhkan, saya menjawab bahwa pernikahan adalah perjanjian seumur hidup sehingga saya memerlukan waktu yang tidak pendek untuk memastikan bahwa orang yang akan saya pilih sebagai pasangan hidup saya adalah orang yang tepat.

        Dugaan saya, pihak keluarganya akan mengerti dan tidak akan mendesak lebih lanjut. Lagipula, kami kan baru saja bertemu dan belum saling mengenal. Jadi saya berpikir setidaknya mereka akan kembali lagi sekitar 6 bulan dari saat itu. Dan saya salah besar. Kedua Ayah kami, secara tak terduga sepakat bahwa sebagai dua orang dewasa yang sudah sangat cukup umur untuk memulai sebuah keluarga, masa pengenalan masing-masing pasangan harusnya tidak seperti anak-anak yang baru lulus SMA karena masing-masing sudah sepatutnya memiliki bentuk keluarga yang ingin dibangun. Jadi penentuan tanggal sekaligus penyesuaian kami berdua harusnya tidak memerlukan waktu yang terlalu panjang. Komentar yang sesungguhnya menimbulkan sekian kalimat sanggahan dalam benakku, namun kusimpan rapat-rapat dengan sejuta tanya lainnya.

        Setelah kunjungan yang mengagetkan tersebut, walau saya belum sama sekali menentukan kemantapan hati, secara mental saya merasa sudah harus memulai proses persiapan tersebut. Setidaknya mengetahui persyaratan administratif pernikahan secara sipil, agama dan yang terutama secara kedinas. Calon istri seolah harus melewati mikroskop besar dan beraneka ragam untuk memastikan ia adalah pendamping yang layak dan mampu melengkapi sang pendekar bangsa.

        Pengalamanku bekerja telah sangat membantu untuk melakukan perencanaan rinci yang sepatutnya saya lakukan tanpa kesulitan yang berarti. Tanpa sadar saya memperlakukan persiapan pernikahan ini layaknya saya melakukan perencanaan untuk calon nasabah saya. Sambil proses persiapan tersebut berlangsung, sesekali ada terserat tanya dalam hati apakah keputusan saya untuk memulai persiapan ini adalah keputusan yang tepat mengingat saya sama sekali tidak punya keyakinan akan kecocokan kami. Apakah persatuan kami akan saling membahagiakan. Baik untuk kami masing-masing maupun untuk kedua keluarga kami. Apakah segala sesuatunya akan berjalan lancar dan tanpa hambatan yang berarti. Apakah benar Mas Yoga akan menjadi pasangan yang tepat saya percayai seumur hidup saya. Mengingat perbedaan yang begitu kontras diantara kami berdua.

      Masih terasa dalam luka yang tergurat akibat pembatalan pernikahan saya dua tahun sebelumnya. Keputusan yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab saya sendiri. Yang tidak saya antisipasi akibatnya atas diri saya sendiri. Saya terjatuh pada titik yang sangat rendah dalam hidup saya. Dunia yang saya miliki porak-poranda. Untunglah saya memiliki pekerjaan yang sangat membantu saya melupakan bagian-bagian yang menyakitkan dan menjadi bagian dari terapi saya untuk bangkit lagi. Dukungan kekuatan yang menyembuhkan juga datang dari seorang sahabat yang tak bosan-bosannya mengingatkan bahwa musibah bisa menjadi kunci pembuka jalan bagi rahmat yang sudah disiapkanNya. Bahwa pengalaman yang tidak nyaman tidak perlu membuat diri kita kehilangan kepercayaan diri apalagi kehilangan harapan akan hari esok yang lebih baik. Naik turunnya gelombang hidup dihadirkan untuk melatih kekuatan dan mengingatkan kita akan arti bersyukur. Bagaimana kita menghargai terang jika tidak pernah merasakan gelapnya suasana. Dan tentu saja peran orang tua yang tidak mungkin saya kesampingkan. Kehadiran seorang Perwira muda bernama Yogo dengan proposal pernikahannya sungguh mengguncang perasaan saya dan keluarga kami. Dan mau tidak mau menghadapkan saya pada janji yang pernah terucap akibat pembatalan pernikahan yang saya putuskan. Kekhawatiran terbesar datang dari keluarga pihak ibu saya. Mereka termasuk yang kelompok yang memiliki pandangan yang kaku terhadap kelompok yang dianggapnya berbeda dari mereka. Mas Yogo dan keluarganya jelas masuk kelompok yang menimbulkan kernyit di dahi mereka sehingga berita seputar lamaran saya langsung menimbulkan efek yang cukup dashyat bagi mereka. Di atas kertas, beberapa fakta sudah begitu kontras di antara kami. Kami dari suku yang berbeda, Mas Yogo Jawa asli, saya memiliki darah ras Tionghoa. Walau saya lahir dan besar di Indonesia, saya menyadari bahwa saya tidak akan pernah dianggap orang Indonesia seutuhnya. Saya sama sekali tidak menguasai dan tidak pernah mempelajari bahasa Mandarin. Namun, karena penampilan kami, embel-embel China akan selalu melekat pada diri saya, padahal istilah China sudah diperhalus menjadi Tionghoa saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat. Kami dari kelompok masyarakat yang berbeda, saya sipil, Mas Yogo militer. Ayahnya seorang purnawirawan. Penampilan kami dan keluarga kami juga merupakan pemandangan yang kontras. Kesamaan satu-satunya adalah agama yang kami anut. Sepanjang ingatan saya, sosok militer bukanlah sosok yang ramah bagi kelompok kami. Saya teringat ibu saya pernah bercerita dikunjungi 2 orang polisi setelah saya mengirimkan surat ke sebuah majalah anak-anak dan berharap mendapatkan foto Presiden. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan polisi membuat ibu tak habis berpikir apa yang telah dilakukan seorang anak berusia 9 tahun sehingga 2 orang polisi perlu mendatangi rumah kami.

        Keputusan saya untuk memulai persiapan pernikahan kami saya ambil setelah saya melakukan rangkaian doa. Kekuatan dan ketenangan yang tidak bisa saya jelaskan secara detail seperti memantapkan hati dan menuntun saya dalam mengambil tindakan dan keputusan yang saya perlukan dalam masa persiapan ini. Walau demikian, saya tidak bisa sepenuhnya menepis kekhawatiran seputar ketepatan kami berdua untuk masing-masing. Apalagi trauma yang pernah tergores ternyata belum sepenuhnya pulih. Beberapa tahun sebelumnya saya telah mengambil keputusan untuk mundur dari pernikahan yang sudah disiapkan dengan lengkap hanya 3 bulan dari tanggal yang ditentukan. Dengan pertimbangan yang matang, saya memberanikan diri untuk membatalkan pernikahan dengan calon yang terdahulu. Keputusan tersebut saya tuangkan dalam sepucuk surat dan saya kirimkan ke yang bersangkutan melalui pos. Saya jelaskan bahwa dengan berjalannya waktu, saya semakin diyakinkan bahwa saya bukan orang yang tepat mendampinginya demikian pula sebaliknya. Oleh karenanya saya mengajukan permintaan maaf karena saya memutuskan untuk membatalkan pernikahan yang sudah di depan mata. Walau keputusan ini berarti keluarga kami menanggung resiko yang tidak kecil.

        Padahal antara saya dan calon saya terdahulu begitu banyak kesamaan yang kami miliki. Kami bertemu dalam sebuah kegiatan Retret Gereja. Namun seiring berjalannya waktu, saya makin menyadari bahwa perbedaan cara pandang makin mencolok. Walau kami sama-sama dari keluarga keturunan, kebiasaan kami sangat berbeda. Di atas kertas, kami tampak seperti pasangan yang saling melengkapi. Namun dalam persiapan, satu-persatu perbedaan yang dasar mencuat. Baik dari kami masing-masing, maupun dari pihak keluarga. Saya tidak bisa melupakan gangguan kegelisahan yang timbul selama persiapan pernikahan dengan calon tersebut. Kepada mereka yang saya mintakan pendapat, saya tidak jarang menerima penghiburan bahwa itu adalah bagian dari persiapan pernikahan siapapun. Saya juga diyakinkan bahwa semuanya ini akan menjadi bagian yang menguatkan pernikahan kami. Walau hati dan pikiran belum sepenuhnya tenang, saya senantiasa mampu mengumpulkan tenaga dan semangat untuk melanjutkan persiapan yang saya sudah mulai. Sendiri. Tanpa bantuan dari si calon maupun pihak keluarganya.

        Hingga pada sebuah titik waktu dimana saya merasa bahwa kegelisahan yang masih senantiasa hadir sesungguhnya seperti sebuah tanda. Agar saya meneliti ulang segala sesuatunya dan meyakinkan diri untuk mengambil keputusan yang tepat sebelum saya terperangkap dalam jebakan yang akan menyiksa seumur hidup.

        Proses refleksi diri dalam keheningan membantu saya untuk memeriksa dengan seksama apa yang menjadi sumber kegelisahan saya tersebut. Saya percaya Sang Pencipta melalui alam semesta ciptaanNya senantiasa memberi tanda yang dibutuhkan mereka yang memerlukan jika saja kepekaan dan keheningan juga hadir.

       Dengan Mas Yogo, perbedaan diantara kami sudah tampak secara kasat mata. Namun yang baru saya sadari adalah hadirnya sebuah ketenangan ketika kami duduk bersama dan bercakap-cakap. Kami memiliki aspirasi yang tidak jauh berbeda. Kami juga memiliki banyak prinsip hidup yang mirip.

        Ketenangan ini kiranya yang membuat saya yang walau belum sepenuhnya yakin akan kecocokan kami berdua, untuk mulai mengumpulkan dan melakukan persiapan yang patut dilakukan oleh kedua calon mempelai untuk menyongsong hari bahagianya.

       Salah satu sumber ketenangan dalam timbul dalam diri saya adalah dari rangkaian doa yang kerap saya daraskan dikala saya diliputi kekhawatiran dan kebuntuan pikiran. Ini juga yang membuat saya yakin dan percaya bahwa petunjuk dariNya pasti akan hadir pada saat yang diperlukan.

        Selama persiapan pernikahan tersebut, Yogo yang sekarang mulai kusebut dengan embel-embel Mas tidak selalu bisa hadir mendampingi saya karena padatnya jadwal kegiatan yang harus dilakukannya. Bahkan tidak jarang kami baru bertemu muka selang 1-2 bulan. Selain terlibat dalam beberapa kegiatan pendidikan, Mas Yogo juga terlibat dalam persiapan seleksi calon tamtama bagi satuannya. Termasuk menjadi salah satu perwira pembawa peti jenazah istri Presiden RI ke-2 yang wafat karena sakit.

        Ditengah masa persiapan yang tidak semakin menjadi lebih sederhana, suatu malam ibu saya masuk ke kamar dan bertanya dengan hati-hati apakah keputusan saya untuk menerima Mas Yogo sebagai suami sudah tidak dapat ditawar lagi. Ibu saya sangat mengkhawatirkan kebahagiaan dan ketenangan hidup saya sebagai istri seorang prajurit TNI AD. Ditambah dengan berbagai pengalaman pribadi dan terutama belajar dari kejadian beberapa tahun sebelumnya saat saya memutuskan untuk tidak melangsungkan pernikahan yang sudah dinanti banyak pihak, kegundahan hati beliau semakin menjadi-jadi.

        Saya ingat bahwa saya memerlukan waktu untuk menata baik-baik jawaban yang akan saya berikan. Agar saya menenangkan hatinya. Sekaligus meyakinkan diri saya juga. Saya jelaskan pada beliau bahwa walau kunjungan Mas Yogo tidak terjadi secara rutin, kami tetap saling berkomunikasi dan bekerja sama dalam persiapan pernikahan ini. Dalam komunikasi itu, saya menemukan banyak kesamaan prinsip hidup dan pandangan hidup yang tidak saya temui dalam diri calon saya terdahulu. Jadi walau secara kasat mata, banyak perbedaan diantara kami, kami justru saling menemukan kesamaan dalam pribadi. Saya juga katakan dengan jujur bahwa disaat-saat yang penting seperti ini, saya sangat membutuhkan bantuan doa dari beliau untuk memantapkan hati sekaligus memohon bantuan rahmat dan kasihNya atas semua persiapan yang sudah dimulai untuk menyongsong hari bahagia yang kami sudah sepakati bersama. Karena walaupun kami mendapati banyak kesamaan, hal itu bukanlah jaminan akan kecocokan kami berdua mengingat rentang waktu perkenalan kami sangat singkat dan frekuensi pertemuan kami yang tidak banyak. Jadi saya masih banyak membutuhkan dukungan doa terutama dari wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan saya. Saya juga tambahkan pada beliau bahwa saya percaya Tuhan juga akan memberikan tanda jika persatuan saya dengan Mas Yogo bukan persatuan yang membawa kebaikan dan berkat.

        Dari Mas Yogo lah saya mulai mengenal pribadi dibalik seragam loreng yang cukup menciutkan nyali. Harus saya akui, kesan negatif yang selama ini lekat dengan TNI lebih banyak karena pemberitaan dan kejadian yang terjadi sesaat. Dari obrolan kami, saya mendapat penjelasan yang cukup rinci mengenai peran dan tugas TNI AD. Termasuk tingkat kepangkatan dan kecabangan. Pun struktur organisasi mereka. Ibarat sedang mewawancarai seorang kandidat pekerja, saya banyak menggali hal-hal yang ingin saya ketahui sepenuhnya tentang dirinya. Alasan memilih berkarir di militer, pengalaman pendidikan di Akademi hingga pengalaman operasi apa saja yang sudah dilaluinya.

        Rasa hormat dan kagum campur bangga terhadap sosok prajurit TNI AD mulai merebak. Jika saya bandingkan dengan apa yang saya lakukan dalam pekerjaan saya, apa yang dituntut dari seorang prajurit TNI AD jauh melebihi imbalan yang mereka terima. Kedisiplinan mereka sudah menjadi buah bibir. Kehadiran mereka selalu dapat diandalkan. Kepatuhan mereka terhadap perintah adalah mutlak. Buat saya ini adalah contoh sempurna. Karena hal tersebut adalah bentuk kepercayaan mereka terhadap pemberi perintah. Bukankah ini juga yang sepatutnya kita lakukan? Bukan saja terhadap atasan, namun terhadap orang tua dan terlebih kepada Sang Maha Pencipta. Kemampuan berpikir yang dikaruniai Sang Esa sepatutnya digunakan untuk memilih tindakan yang baik dan benar bagi kemaslahatan banyak orang. Namun acap kali kemampuan ini malah menuntun seseorang memilih tindakan yang tidak sepenuhnya benar dan cenderung menguntungkan dirinya. Bahkan dibeberapa situasi, pilihan tindakan juga diwarnai oleh keinginan untuk mendapatkan popularitas diri.

        Mengenali sosok Mas Yogo yang prajurit, saya berulangkali diingatkan akan kerendahan hati, tanggung jawab dan integritas. Kualitas yang ideal sebagai pasangan hidup. Dalam keseharian saya di pekerjaan, integritas dan tanggung jawab juga merupakan kunci. Saya menganggap penemuan ini adalah salah satu tanda yang mendukung pilihan dan keputusan saya dari alam semesta. Bahwa setiap peran yang kita ambil atau pilih memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri, tugas dan tanggung jawab prajurit TNI AD yang tidak ringan membuat saya tak dapat menyembunyikan kebanggaan tersendiri karena saat itu saya mendapat kesempatan untuk memilih terlibat di dalamnya. Sebuah afirmasi yang dampaknya kondusif terhadap persiapan mental yang sedang saya lakukan sebelum sepenuhnya siap mengucapkan janji setia untuk selamanya. Prajurit TNI AD adalah salah satu pilar bangsa dengan tugas yang tidak mudah. Peran mereka tidak jarang melampaui apa yang terurai di atas kertas karena mereka selalu dapat diandalkan dalam berbagai situasi berkat kedisiplinan dan tanggung jawab mereka atas tugas yang dipercayakan di pundak mereka. Kehadiran mereka bukan tidak menuai cemooh. Kontribusi mereka sering terluputkan oleh banyak orang. Oleh karenanya mereka pasti butuh sebuah rumah yang berisi banyak kasih sayang dan rasa kebanggaan yang berlipat supaya mereka tidak larut dalam kelelahan fisik dan jiwa yang berkepanjangan seusai pelaksanaan tugas. Mereka butuh lingkaran kecil yang senantiasa menyambut mereka dengan penuh rasa syukur berhiaskan kelemahlembutan agar kemanusiaan mereka senantiasa terjaga.

      Adalah sebuah kehormatan buat saya mendapat kesempatan ini. Dan saya mengandalkan bantuan rahmat dariNya untuk senantiasa memampukan saya sebaik-baiknya menjadi rekan seperjalanan yang tepat bagi Mas Yogo. Agar bersama anak-anak, kami dapat menciptakan rumah yang memiliki lingkaran kecil yang dapat menjadi sumber kekuatan dan semangat Mas Yogo dalam pekerjaannya.

        Pernikahan kami berlangsung 26 Desember 1996 di Jakarta mundur dari tanggal yang kami inginkan 27 Oktober 1996, atas perintah komandan kami agar tidak mengganggu pendidikan yang sedang dilakukannya. Kami diberkati dengan 1 putri dan 1 putra dan 3 hewan berkaki empat yang senantiasa menawan hati kami.

 

Nama : Natalia

Nama suami : Ignatius Yogo Triyono

Satuan : Kodam XVII/Cenderawasih




View all comments

Write a comment