Bangga Menjadi Istri Prajurit TNI AD
Bangga Menjadi Istri Prajurit TNI AD

By admin 02 Mar 2022, 05:04:38 WIT Persit
Bangga Menjadi Istri Prajurit TNI AD

Bangga Menjadi Istri Prajurit TNI AD

#Perjalanan Kami Menjelajahi Dunia

#Perjuangan Kami Memperoleh Keturunan

 

Perjalanan saya sebagai pendamping prajurit TNI AD dimulai sejak 28 Oktober 2001 saat kami melangsungkan pernikahan di Magelang. Saat itu, Mas Iko, demikian saya menyapanya, merupakan anggota Yon Arhanudse 8 di Seruni, Sidoarjo, Jawa Timur. Saya termasuk kelompok wanita yang memiliki gangguan kesehatan berupa endometriosis (kondisi abnormal penebalan dinding rahim). Penebalan dinding rahim normalnya terjadi menjelang masa ovulasi (pembuahan) agar calon janin dapat menempel ketika terjadi pembuahan. Ketika kami menikah, saya menyadari bahwa kehamilan bagi saya tidak akan datang dengan mudah. Saat itu saya yang sejak muda berulangkali mengalami nyeri hebat setiap kali datang bulan, sudah mengkonsumsi obat pengurang rasa sakit secara teratur.

Februari 2002, Mas Iko mendapat kesempatan melanjutkan S2 di Australia sebagai yang termuda dari 5 wakil Indonesia yang terpilih. Saya sendiri baru bergabung di Canberra bulan Juli 2002 karena ada program penyesuaian yang wajib dipenuhi para siswa asing sebelum keluarga mereka diijinkan. Saya mengenal Mas Iko sebagai orang yang tidak terlalu banyak bicara jika tidak merasa perlu dan memiliki dedikasi penuh atas tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Salah satu bukti adalah meraih hasil terbaik di antara siswa asing yang mengikuti kursus bahasa Inggris persiapan. Mas Iko juga menjadi orang asing pertama yang meraih penghargaan atas karya tulis yang membuatnya lulus S2 dengan predikat cum laude.

Di awal pernikahan kami, didorong keinginan untuk memperoleh keturunan, konsultasi intensif dengan dokter kandungan sudah kami lakukan. Namun atas pertimbangan dokter spesialis bayi tabung yang kami temui di Malang, kondisi endometriosis yang sudah terjadi di tubuh dibiarkan tanpa konsumsi obat. Memanfaatkan fasilitas yang tersedia bagi siswa dan keluarganya, saya melakukan laparoskopi yang pertama di tahun 2003 di Canberra sebagai bagian dari persiapan kondisi tubuh menyambut kehadiran buah hati kami. Tindakan yang diikuti  dengan terapi hormon.

Kami kembali ke Indonesia akhir 2003 dengan kondisi yang tidak jauh berbeda dari sebelum tindakan medis di Australia. Sakit masih terus menyerang saya setiap kali datang bulan. Berbagai obat kiriman Mama Mertua saya yang juga ikut prihatin dengan kondisi saya, mulai saya konsumsi. Mas Iko saat itu mendapat penempatan di Spersad, Jakarta.

Tahun 2006, menemani Mama Mertua yang mengobati sakit di tempurung kaki dan daerah pinggang, kami ke Penang. Endometriosis yang saya alami sudah semakin meluas. Saya menjalani laparoskopi yang kedua berikut terapi hormon atas saran dokter yang saya temui di sana. Awal 2007, saya melakukan terapi serupa di RSPAD. Kami juga memutuskan untuk menjalani program infertilisasi. 2 kali. Belum ada tanda-tanda keberhasilan. Kami lalu memutuskan untuk melakukan pengobatan sekaligus pemeriksaan menyeluruh ke dokter di RS Harapan Kita. Disinilah saya menemukan masalah tambahan yang mempersulit kehamilan yang kami impikan, darah saya mudah mengental. Sejujurnya, saya sudah mulai disergap keputusasaan. Saya merasa harapan yang saya jaga mulai meredup. Saya lelah. Fisik dan mental.

2007 suami berkesempatan mengikuti Sekolah Lanjutan Perwira (Selapa) di Pusdik Arhanud, Karang Ploso, Batu, Malang. Tak dinyana, kunjungan ke dokter untuk menjawab kecurigaan saya atas keterlambatan haid bulan itu malah menjadi kunjungan yang menggembirakan kami berdua. Dokter mengumumkan kehadiran janin berusia 7 minggu dengan detak jantung yang sehat dalam rahim saya. Setelah diberi obat penguat janin, kami diminta untuk kembali 3 minggu mendatang. Mama Mertua pun berkunjung sebagai tanda ikut berbahagia atas kehamilan saya. Namun saat kami ke stasiun kereta hari Minggu untuk mengantar Mama Mertua kembali, saya tiba-tiba merasakan kehadiran anak kami yang tersenyum memandangi saya sambil melambaikan tangannya. Saya sedikit terhenyak.

“Anakku mengucapkan salam perpisahan.” gumamku dalam hati. Saya memutuskan untuk menyimpannya sendiri. Namun Mama Mertua menarik tangan saya dan berbisik, “Si kecil dalam kandunganmu berbisik begini, Eyang, aku pergi dulu ya. Papa galak. “

Perasaanku tak karuan. Si kecil memang telah berpamitan padaku tadi. Dan pasti tadi Mas Iko yang membuatnya kaget dengan komentarnya yang bernada tinggi gara-gara kesalahpahaman kecil.

Kunjungan kami ke dokter esok harinya mengkonfirmasi apa yang sudah saya kawatirkan. Dokter tidak menemukan detak jantung janin kami. Saat itu usia kandungan saya sekitar 10 minggu. Kami melakukan kunjungan ke 2 dokter yang berbeda. Namun pesan yang kami terima tetap sama. Bayi kami tidak berkembang akibat gangguan pengentalan darah. Saya teringat hasil pemeriksaan laboratorium yang saya lakukan di RS Harapan Kita beberapa waktu lalu. Saya menghela nafas panjang. Kami masih diminta bersabar. Kami masih harus menjaga harapan kami.

Pendidikan Selapa berhasil diselesaikan dengan hasil yang memuaskan. 2008 kami bergeser ke Cimahi karena Mas Iko ditempatkan di Pussenarhanud. Serangkaian konsultasi kembali saya jalani akibat desakan Mama Mertua. Pemeriksaan secara intensif dan mendalam dibarengi dengan pengobatan secara herbal oleh dokter kandungan yang saya temui di RS Borromeus, Bandung menyimpulkan bahwa secara medis, berdasarkan kondisi kesehatan saya, saya tidak akan bisa memiliki anak karena kondisi endometriosis sudah sedemikian meluas hingga otot rahim. Dengan demikian pembuahan tidak akan bisa terjadi. Berita yang cukup menghancurkan hati saya. Namun dokter juga menyisakan satu kalimat yang membuat saya tetap menjaga tegaknya harapan dan optimisme saat ia berkata bahwa jika Tuhan sudah berkehendak, semua perhitungan manusia tidak akan ada artinya.

Pada pertengahan tahun 2008, Mas Iko mendapatkan penugasan untuk ikut sebagai salah satu dari military observers di negara Georgia, sebuah negara pecahan Rusia. Saya memutuskan untuk tetap tinggal di Mess Pussenarhanud, Cimahi daripada kembali ke rumah orangtua saya di Magelang dan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan gereja. Dalam satu kesempatan, sempat terucap janji saya untuk mempersembahkan anak yang diijinkan hadir dalam keluarga yang saya bentuk dengan Mas Iko. Sepatutnya Mas Iko bertugas untuk 1 tahun, namun karena membaiknya situasi di negara observasi, kepulangan para pengamat militer dipercepat menginjak bulan ke 10. Tiga bulan kemudian, saya dinyatakan positif hamil. Haru menyeruak dan membuat saya tidak bisa berkata-kata. Hanya rasa syukur yang memenuhi benak dan hati kami. Jika Tuhan sudah berkehendak, tidak ada yang mustahil. Dan saya semakin mantap mempersembahkan buah hati kami untuk menjadi pelayanNya sebagai bentuk rasa syukur saya.

Tak lama, suami mendapat kesempatan bergabung di Kontingen Garuda (Konga XXIV-3 2009-2010), pasukan perdamaian kebanggaan Indonesia. Dengan berat hati saya bersama si kecil yang baru menginjak 7 minggu dalam rahimku melepas keberangkatan suami ke Nepal. Mama Mertua yang juga hadir mengantar di Bandara Internasional Soekarno Hatta bercerita bahwa beliau beberapa hari lalu mengalami mimpi yang menyenangkan.

“Ada anak kecil dengan rambut ikal sedang bermain. Mama dekati dan tanya anak cantik, anak siapa? Tapi anak itu menjawab begini, saya ganteng, Eyang, dan saya anak Papa Iko.”

Disaat itulah saya menyodorkan hasil test pack sambil berbagi kabar kehadiran si kecil.

Biasanya, dengan ketiadaan suami karena sedang bertugas, para istri menggunakan kesempatan untuk kembali ke rumah orangtua mereka masing-masing berkumpul dengan keluarga. Namun dengan alasan kesehatan, saya memutuskan untuk tetap di Mess Pussenarhanud, Cimahi. Tanpa saya duga, saya menerima dukungan tiada henti, baik dari tetangga satu kompleks maupun dari warga lingkungan Santo Nicodemus, tempat kami tinggal di Cimahi. Perhatian dari para ibu yang memperlakukan saya bak anaknya sendiri membuat saya terharu. Bahkan saat kehamilan saya menginjak bulan ke 7, mereka dengan sepenuh hati mempersiapkan upacara yang biasa kami lakukan sebagai orang Jawa, mendoakan si anak agar menjadi pribadi yang berbakti sekaligus memohon kelancaran dan kesehatan hingga proses kelahiran (mitoni). Kebahagiaan saya semakin lengkap dengan kehadiran suami saat upacara mitoni dilaksanakan.

Saya memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melatih pengelolaan waktu agar berbagai tanggungjawab yang saya miliki bisa terselesaikan dengan baik. Pertama, sebagai urusan Usaha dan Simpan Pinjam Seksi Ekonomi Cabang XV Pussenarhanud, kedua, sebagai warga lingkungan gereja dan yang terakhir, sebagai calon ibu yang mempersiapkan kehadiran buah hati yang sudah kami impikan sejak lama. Atas kebijakan Ketua, saya mendapat keringanan untuk tidak mengikuti kegiatan di luar  satuan.

Kelahiran anak kami yang awalnya ditentukan tanggal 12 April dengan menggunakan proses caesarean dimajukan menjadi tanggal 10 April 2010. Tiket yang awalnya sudah dipesan oleh suami tanggal 11 tidak bisa digunakan dan tiket baru harus segera dipesan walau dengan rute yang lebih panjang. Lewat perjalanan panjang nan berliku, Samuel Wicaksono Adhi Prabowo akhirnya diperkenankan hadir melengkapi rumah tangga yang telah kami bangun 9 tahun lalu.

Masa cuti suami yang cuma 3 minggu terasa cepat berlalu. Saya kembali sendirian menjaga Samuel. Untunglah dengan ketrampilan perawat yang saya miliki, saya tidak memiliki kesulitan berarti dalam merawat Samuel kecil. Kendala saat awal menyusui lekas teratasi berkat resep keluarga. Rindu kami bisa sedikit terobati berkat Skype. Usai penugasan di Nepal, Mas Iko melanjutkan penugasan di Pussenarhanud dan untuk pertama kalinya kami merasakan hidup dalam kelengkapan.

Kesempatan hidup di negeri orang kembali tiba saat Mas Iko terpilih sebagai salah satu peserta pendidikan Sesko di Tiongkok. Kebahagiaan tersebut semakin disempurnakan dengan kehadiran anak kami yang kedua. Mimpi yang dialami Mama Mertua saya sebelum kami mengumumkan kehadiran adik Samuel adalah sepasang merpati putih yang terbang beriringan.

15 Maret 2012 Nicodemus Satrio Pambudi Waskito, putra kami yang kedua menyempurnakan kebahagiaan kami. Kami meninggalkan Indonesia bulan September 2012, saat Sam berusia 29 dan Nico 5 bulan, ke Nanjing, Tiongkok untuk mendampingi suami yang akan melaksanakan pendidikan Sekolah Staf dan Komando. Tempat pendidikan berada di distrik Pokou, Nanjing. Jarak Pokou ke kota Nanjing adalah sekitar 1 jam. Pendidikan Sesko di Tiongkok diselenggarakan dalam 3 kelas dengan menggunakan bahasa pengantar yang berbeda. Bahasa Mandarin hanya tersedia bagi kelas yang diikuti oleh siswa lokal. Bahasa Inggris tersedia bagi sebagian besar siswa asing termasuk suami saya. Dan kelas berbahasa Spanyol disediakan bagi siswa dari negara-negara Amerika Selatan.

Semua siswa asing tinggal di apartemen yang disediakan oleh pihak sekolah dengan uang sewa berdasarkan jumlah kamar yang ada. Uang saku yang disediakan penyelenggara pendidikan untuk siswa asing jumlahnya lebih kecil dari besaran sewa yang menjadi kewajiban kami. Untunglah kami masih bisa mengandalkan uang saku dari Mabes TNI.

Bagi siswa asing, pihak sekolah menyediakan kesempatan untuk berbelanja ke kota setiap Sabtu dengan menggunakan bis sekolah 09.00 -15.00. Karena keterbatasan bahasa dengan penduduk setempat, komunikasi kami banyak menggunakan isyarat dan kalkulator, terutama saat berbelanja. Interaksi dengan para istri siswa asing yang ikut hadir terbatas pada kegiatan belanja hari Sabtu dan acara mengunjungi situs sejarah bersama dengan suami sebagai siswa. Kegiatan lainnya adalah acara makan bersama saat perayaan hari besar agama termasuk Imlek dan acara hiburan di akhir pendidikan yang menampilkan lagu atau tarian khas negara masing-masing. Saat kami menghadiri misa di gereja, kami sempat bertemu dengan sesama warga Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Nanjing. Pendidikan berjalan selama kurang lebih 10 bulan dan kami sempat mengunjungi Shanghai, Beijing dan Hongkong sebelum kami meninggalkan Tiongkok.

Juli 2013 pendidikan berakhir. Kami kembali ke Indonesia tepatnya ke Pusat Pendidikan Artileri Pertahanan Udara di daerah Karang Ploso, Batu, Malang selama kurang lebih 10 bulan sebelum bergeser ke Paspampres.

Awal 2015 suami mendapat kesempatan menjadi Patun di Australia selama 2 tahun. Sebuah penugasan yang membanggakan namun sama sekali tidak ringan. Dan sempat dirasakan berat karena membutuhkan adaptasi yang besar terhadap sistem kerja disana. Sebagai Perwira Penuntun, suami saya bertanggungjawab sebagai pembimbing atas beberapa siswa yang terdiri dari siswa setempat dan siswa negara asing. Dibutuhkan kesabaran, ketekunan selain dedikasi yang tinggi untuk menjadi pembimbing yang berkualitas. Penugasan ini memberikan kesempatan anak-anak kami untuk merasakan pola pendidikan barat yang sedikit berbeda penekanannya dengan pola pendidikan di Indonesia. Saya juga mendapat kesempatan berbagi tentang kebudayaan Indonesia di salah satu sekolah anak kami.

Namun di tahun yang sama, Mas Iko harus kehilangan Papa tercinta. Mengingat situasi dan kondisi saat itu, hanya Mas Iko yang kembali ke Indonesia untuk upacara pemakaman. 6 bulan kemudian giliran saya yang harus melepaskan kepergian Papa saya. Kala itu, kami sekeluarga bisa kembali memberikan penghormatan kami yang terakhir.

Sekembali kami dari penugasan sebagai Patun di Australia 2017, Mas Iko ditugaskan ke Dispenad. Secara tak disangka, suami dinyatakan berhak mengikuti seleksi untuk Sesko TNI di tahun 2018. Dukungan dari atasan sangatlah menyemangati kami yang sempat sedikit gamang mengingat persaingan untuk terpilih sebagai siswa Sesko TNI sangatlah tidak mudah. Syukurlah, Mas Iko diberi kelancaran hingga berhak mengikuti pendidikan di Sekolah Kepemimpinan Tinggi Polisi Republik Indonesia (Sespimti Polri).

Materi yang digunakan di Sespimti berbeda dengan yang digunakan di Angkatan Darat. Keberadaan kami bertiga didekatnya merupakan dorongan moril yang paling kuat bagi Mas Iko dalam menyelesaikan semua tugas.

Suami berhasil meraih penghargaan Peserta Didik TNI terbaik dalam bidang Akademik Sespimti Polri angkatan 28 tahun 2019. Kami tak dapat menyembunyikan rasa bangga saat penganugerahan medali dan piagam dilakukan langsung oleh Kepala Polisi Republik Indonesia, Jendral Pol Idham Azis.

Pengalaman selama kurang lebih 20 tahun mendampingi suami dalam hampir semua penugasan yang diterimanya merupakan perjalanan yang memperkaya ilmu berkat kesempatan hidup di berbagai negara asing. Sekaligus ziarah batin yang mengingatkan saya untuk senantiasa tekun dan setia akan pemenuhan janjiNya yang selalu memberikan kita yang terbaik. Keterlibatan dalam Persit senantiasa mengingatkan keberadaan saya yang tidak pernah lepas dari jati diri suami. Dengan demikian, perilaku dan keberadaan saya sepatutnya mendukung dan menunjukkan penghormatan bagi sang pilar bangsa. Oleh karena itu adalah sebuah kehormatan bagi saya menjadi pendamping prajurit TNI AD.

Nama              : Ignatia Martina Endang Widiyanti

Nama Suami  : Kol. Arh. Ignatius Wahyu Jatmiko, Mds

Jabatan Suami: Asrendam XVII/Cenderawasih

Jabatan Istri    : Ketua Persit KCK Cabang VI Sren PD XVII/Cenderawasih

                          Dan Ketua Seksi Sosial PD XVII/Cenderawasih




View all comments

Write a comment