BANGGA MENJADI PENDAMPING PRAJURIT
BANGGA MENJADI PENDAMPING PRAJURIT

By admin 02 Mar 2022, 04:59:56 WIT Persit

BANGGA MENJADI PENDAMPING PRAJURIT

#Catatan harian istri

 

Jakarta 2000-2001

Jangan masuk!”

”Lho kenapa? Kita kan tamu undangan.”

“Sedang ada prosesi militer. Kita tunggu hingga selesai, baru kita masuk.”

”Aku pengen liat…”

Aku berjinjit berusaha mengintip prosesi militer itu. Pemandangan yang kulihat dari kejauhan membuatku terkesima. Prosesi Pedang Pora.

Saat itu kami adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti yang menghadiri pernikahan teman kami.

“Oke yuuuk…..masuk,” salah seorang rekan kami memberi tanda.

Mereka yang baru selesai melakukan prosesi terlihat berjalan teratur dalam diam keluar ruangan. Kami segera bergabung dengan para undangan lain berbaris menanti kesempatan bersalaman dengan kedua mempelai.

‘’Asih, selamaaat yaaa…”

Kami tidak bisa tinggal terlalu lama di acara tersebut, karena esok ada mata kuliah wajib di pagi hari. Lagipula ayahku pasti sedang menghitung waktu kepergianku. Beliau cukup ketat memperlakukan diriku. Sulung dari 3 bersaudara dan satu-satunya wanita.

Saat berjalan ke arah mobil, ada tangan kekar yang menyentuh lembut lenganku, membuatku membalikkan badan ingin melihat siapa yang melakukannya.

“Namanya siapa? Kenalan yaa..”

Di hadapanku berdiri seorang pemuda dengan seragam militer lengkap. Berkulit putih kekuningan dengan alis yang tebal. Wajahnya menampakkan karisma. Aku tertegun sejenak.

“Nama saya Letda Infanteri Riksani. Apakah kamu temannya Mbak Asih?” sambil mengulurkan tangan padaku, “Siapa namanya?”

“Ng..nama saya Ayu. Saya temannya pengantin perempuan.” jawabku gugup, mencari teman-temanku yang lain.

“Ayu…ayo kita mau pulang!” seseorang berseru di kejauhan.

Tapi tak kulihat siapapun di sekitarku. Rupanya mereka sudah berada dekat mobil kami.

“Mas, saya harus pulang.”

“Mmm..sebentar, berapa nomor kamu?”

“Tanya Asih aja ya…” aku berlari ke arah mobil menyusul teman-temanku.

2001-2006

7 Juli

“Ingat ya, Yu, kamu bukan lagi pagar ayu. Kamu pengantinnya sekarang.” gurauan hangat para sahabat yang menggodaku saat menyalamiku di pelaminan petang itu.

Kini kami adalah sepasang suami istri. “Menjadi istri prajurit dan istri sejati” sepotong narasi prosesi pedang pora kujadikan pedoman dalam menentukan sikap dan tindakan dalam kehidupanku sebagai pendamping prajurit TNI AD.

“Aku harus mampu menjadi rekan diskusi yang menyenangkan, berwawasan luas bagi suamiku yang cerdas!” memenuhi benakku.

Kegugupan yang menyergap diriku saat memasuki Asrama Yonif 202 Jakarta membuat Mas Riksani atau biasa kusapa hangat Mas Ica memelukku hangat.

“Kamu akan bahagia disini. Punya banyak teman banyak….kamu kan pandai bergaul.”

“Saya akan bimbing kamu sebagai istri prajurit.” senyumnya mengembang, meyakinkanku.

Sikapnya yang senantiasa positif dan optimistis menulariku dalam menghadapi situasi yang belum pernah kualami sebelumnya. Saya berasal dari keluarga tentara, walau ayah bukan tentara. Adalah bagian dari mimpiku untuk menjadi pendamping prajurit TNI AD. Saat Mas Riksani mulai hadir dalam hari-hariku, saya sudah sepenuhnya menyiapkan diri untuk menjadi pendamping yang ideal.

Kehidupan asrama berjalan teratur dan menyenangkan. Bimbingan yang saya terima dari Ibu Danyon serta Wadanyon membantu pemahaman saya tentang kehidupan dalam asrama/batalyon, tata krama sikap dan perilaku yang sepatutnya  dari seorang istri prajurit serta tugas dan tanggungjawab seorang istri Danton.

Kesibukanku yang bertambah sempat membuatku sedikit kewalahan. Kehamilan  pertamaku dan tanggungjawab terhadap organisasi Persit sempat menyebabkan kelalaian pada beberapa tugas kampus. Untungnya Indeks Prestasi yang kuraih 2 semester lalu  membuatku memiliki cukup banyak SKS (nilai kredit).

“Jangan berhenti kuliah. Kamu pasti bisa.“

“Pasti bisa selesai. Santai saja, jangan terlalu ngoyo.”

“Betul, Ayu, kamu harus lulus. Jika kamu tidak bisa melewati tantangan ini, kamu akan mudah menyerah pada tantangan yang akan kamu hadapi selanjutnya.”

Dukungan dari orang-orang terdekatku membantu tekadku untuk menyelesaikan kuliah dengan sebaik-baiknya.

Vivant Academica/Vivant Professores/Vivant membrum quodlibet/Vivant membra quaelibet/Semper sint in flore! potongan syair Gaudeamus Igitur yang membahana di Gedung Jakarta Convention Centre mengiringi prosesi para wisudawan wisudawati yang bersinar-sinar. Genggaman tangan Ryadho yang saat itu 2 tahun, kehadiran Mas Riksani berikut kedua orangtuaku melengkapi kebahagiaanku. Dadaku sesak dipenuhi syukur. Alhamdulilah saya dimampukan menjawab tantangan dengan baik. Gelar Sarjana Hukum sudah resmi kusandang tahun 2004.

Kehadiran seorang putri dalam rumah kami menyempurnakan kebahagiaan kami di tahun 2006.

2007-20011

Mas Riksani mendapat kesempatan untuk bergabung dalam tim penjaga perdamaian PBB di wilayah Kongo. Tim tersebut bertugas untuk memastikan bahwa beberapa faksi yang sudah berjanji untuk bekerja sama membangun negara Kongo patuh pada perjanjian damai yang mereka tandatangani. Penugasan yang membanggakan, namun sekaligus menimbulkan kekawatiran. Karena 4 bulan pertama kami tidak bisa saling berkomunikasi karena lokasi Mas Riksani berada di pedalaman. Kami melewati malam pergantian tahun tanpa kehadiran Mas Riksani. Tapi saya tidak membiarkan kami larut dalam kesedihan. Karena kami tidak sendiri. Dan kami menyadari bahwa walau kami terpisah benua dan lautan, kami berada di situasi yang tidak beda jauh sebenarnya. Dalam kedudukan Mas Riksani sebagai Kasipers Brigif Linud 18, kami saat itu tinggal di daerah Jabung, kira-kira 22 km dari Malang kota. Walau daerah yang kami tinggali sejuk, namun situasi sekitar yang masih begitu sederhana sempat membuat anak-anak kami tidak bisa menikmatinya. Namun untunglah hal tersebut tidak berlangsung lama. Saya kemudian memutuskan untuk melanjutkan studi S2 di Universitas Brawijaya, Malang. Kehidupan di asrama yang penuh dengan suasana kekeluargaan sangat menghibur saat kami dilanda kerinduan. Selalu ada kegiatan baru yang hadir mengisi hari-hari kami sehingga penantian kami tidak terasa terlalu panjang. Awal bersemainya persahabatan yang tak lekang oleh waktu.

November 2008 kami menyambut dengan suka cita tak terkira kehadiran Mas Riksani kembali di rumah kami. Jabatan baru yang diemban Mas Riksani berujung pada pergeseran peranku dalam organisasi Persit. Adalah tanggungjawabku sebagai istri Wadanyon Linud 502 Brigif Linud 18 Div 2 Kostrad kini untuk sepenuhnya mendukung kegiatan ibu Danyon kami.

Tak dinyana, suami mendapat kesempatan mengikuti pendidikan Seskoad. Dengan penuh semangat kami pindah ke Bandung yang sejuk menyemangati suami dalam  menempuh pendidikannya.

2012-2016

Jabatan baru yang dipercayakan kepada Mas Riksani, Danyonif Linud 502 membawa kami kembali ke Jabung, Malang. Mas Riksani juga memperoleh kesempatan untuk mendapatkan brevet ketrampilan terjun payung di Perancis dan Inggris selama kurun waktu 1 tahun 9 bulan sebagai Danyonif Linud atau sekarang lebih dikenal dengan Danyonif Para Raider.

“Yang, terima kasih atas dukungan dan doa yang telah tidak pernah berhenti untuk saya. Aku juga mengerti kecemasan yang kamu rasakan saat saya bertugas. Sekarang…adakah hal yang kamu inginkan?” tanyanya pada saya yang sedang duduk dilantai.

Perhatian dan kepekaannya sungguh menghangatkan hati.

Mas, setiap kali aku mendoakanmu, itu kan mendoakan diriku juga. Aku selalu berdoa untuk kesehatanmu, kesuksesanmu dalam tugas dan terutama kebahagiaan bersamaku. Aku.. ngg.. masih mengkawatirkan keterbatasan diriku.”

“Jadi, apa yang inginkan dari saya?”

“Jika boleh, Mas, aku ingin kuliah lagi. Melanjutkan S2 ku yang terputus, karena menjadi dosen adalah cita-citaku. Agar hidupku bisa bermanfaat untuk orang banyak. Seperti kamu.”

“Kuliah bareng ya, walau beda Prodi?

Tak pernah kubayangkan sebelumnya bisa melanjutkan pendidikan bersama dengan suami. Kami menyelesaikan S2 dengan mata kuliah yang berbeda di Malang tahun 2016 saat anak-anak berada di bangku SMP dan SD. Kebahagiaanku makin menjadi saat tawaran menjadi dosen tiba dihadapanku tak lama kemudian.

Kehidupanku makin berwarna. Sebagai anggota Persit, sebagai dosen dan sebagai ibu dari sepasang putra putri kami. Pengalaman telah menempaku menjadi sosok tangguh, mampu mengatur waktu dengan seimbang.

Berbagai pelatihan yang harus kupenuhi sebagai dosen baru dapat kujalani tanpa kesulitan yang berarti. Kebebasan untuk mengatur jadwal mengajarku memberiku banyak ruang untuk mengatur prioritasku.

2017-2018

Penugasan Mas Riksani sebagai Kasbrig Para Raider 3 Divisi I Kostrad (sekarang menjadi Divisi III setelah pemekaran 2018) membawa kami ke Kariango, di Kabupaten Maros, Makassar. Kami jadi berkesempatan berwisata ke Taman Nasional Bantimurung dan menikmati keindahan gugusan pegunungan karst Rammang-Rammang. Menjalin persaudaraan baru dengan ibu-ibu yang penuh semangat.

Ryadho berhasil menamatkan SMP sebagai salah satu dengan nilai UAN terbaik. Melancarkan jalannya untuk melanjutkan di SMA Negeri 3 Malang-Jawa Timur. Atas kesepakatan bersama, Ryadho tetap di Malang agar dapat berkonsentrasi untuk pendidikannya. Kami hanya menyertakan putri kami saat Mas Riksani bertugas sebagai Danbrigif Para Raider 17 Divisi I Kostrad di Jakarta.

2019

“Ma, aku ingin masuk ke Akademi Militer di Magelang. Mama bantu doa, ya.”

Saat itu si sulung duduk di kelas 3 SMA. Putriku di kelas 6 SD. Mas Riksani sedang menjalani pendidikan Sesko TNI.

“Tentu, sayang. Siapkan dirimu sebaik-baiknya. Fisikmu. Jangan lupa nilai akademismu ya, nak.”

2020

Sebagai bentuk penyesuaian terhadap kondisi yang melanda dunia, kampus tempatku mengajar memberlakukan sistem perkuliahan secara daring untuk menghambat penyebaran Covid-19 di Indonesia. Tambahan bimbingan yang saat itu dibutuhkan oleh putra putri kami, Ryadho dan Callista menghadapi UAN, harus ikut dihentikan. Syukurlah, anak-anak kami mampu lulus dengan hasil yang memuaskan. Usai menyelesaikan pendidikan Sesko TNI, kami mendapatkan penugasan sebagai Wadanrindam XVII/Cenderawasih yang berlokasi di Ifar Gunung, Sentani-Papua. Putri kami baru saja menyelesaikan tes seleksi sekolah idamannya yang dilakukan secara daring. Kami berangkat ke Jayapura meninggalkan putra kami yang sedang menantikan pengumuman pendaftaran Taruna Akademi Militer di Malang.

Papua digambarkan sebagai surga kecil yang jatuh ke Bumi. Di lokasi tempat kami bertugas, kami senantiasa disuguhi dengan pemandangan kabut tipis pada pagi hari yang pelahan menghilang seiring dengan hadirnya sang surya menyuguhkan hamparan kehijauan dengan gradasi yang memukau, menghasilkan udara sejuk dan bersih.

Malaria yang dahulu identik dengan Papua kini pelahan telah semakin terkendali akibat semakin baiknya tingkat pemahaman warga setempat dalam mengatasi dan mencegah penyakit ini. Kehadiran Covid-19 di wilayah Papua sepertinya tidak seburuk di daerah lain di Indonesia karena jumlah penduduk dan kualitas udara yang dimiliki.

Danau Sentani yang luas dan menawan adalah pemandangan yang disuguhkan oleh alam Papua setiap kali kami menuju Jayapura, sekitar 1 jam dari tempat kami.

Pandemi menyebabkan penyesuaian pada banyak hal. Semua lembaga pendidikan diminta mengadakan proses pembelajaran secara daring agar tidak menghalangi proses pendidikan bagi tunas bangsa. Baik Callista, putri kami dan saya sama-sama membutuhkan keberadaan internet dengan jaringan yang stabil dan berkualitas tujuan kami yang berbeda dapat terpenuhi tanpa gangguan. Namun keadaan infrastruktur Papua yang masih sangat minim menyebabkan jaringan listrik tidak tersedia terus menerus.

Jika listrik mati, kami segera naik sepeda menuju kantor suami saya untuk mendapatkan kembali hubungan internet yang kami butuhkan agar dapat kembali masuk kelas/melanjutkan pengajaran. Kami tidak jarang kermbali bergabung dengan kondisi keringat bercucuran. Namun pengalaman tersebut merupakan dinamika kehidupan yang mengukir senyum. Karena tak jarang, listrik mati lebih dari 2 kali yang menyebabkan jaringan terputus. Sekarang kami sudah menemukan solusi untuk menyiasati keadaan listrik mati sehingga kami tidak perlu tergesa-gesa ke kantor suami.

“Ma, pendaftaran Akmil sudah dibuka. Aku ikut tes, Ma.”

“Mama bisa pulang?

Gundah hatiku. Kami baru dua minggu tiba dan dalam beberapa hari lagi akan ada sertijab komandan baru. Sementara, Ryadho sangat membutuhkan kehadiran saya. Ia yang sejak SMP hanya hidup sendiri bersama orang kepercayaan kami di Malang pasti membutuhkan dukungan saya. Tidak ada sanak saudara yang menemani Ryadho.

“Siapkan semua persyaratan administrasinya ya. Mama ikut mendoakan. Bismillah.”

“Iya, Ma, doain aku ya, Ma!” serunya penuh semangat dari ujung sana di Malang.

“Lulus, Ma, aku ke Magelang!!” teriaknya. Tangisku pecah. Saya baru bisa tiba di Malang saat pengumunan dilakukan. Putra kami mempersiapkan segala sesuatu termasuk melakukan beragam tes sendirian. Ido, demikian panggilannya, berlari menyambutku dengan pelukan dalam balutan blus putih celana panjang hitam dengan kepala yang mulus. Aku mengeratkan pelukan. Bangga tak terkira karena putra kami melakukannya dengan baik. Sangat baik. Dadaku rasanya tak mampu menampung gejolak perasaan yang menguasaiku. Keharuan kembali menguasai kami saat kami berkesempatan membagi berita bahagia lewat video call malam harinya ke Ayahnya.

Juli 2021

Ryadho kini duduk di tingkat 2 di Akademi Militer, Callista kelas 2 SMP.

Pendidikan S3 yang saya tempuh secara daring kini memasuki semester 3.

“Selamat ulang tahun pernikahan yang ke 20, sayangku.”

Kue ulang tahun berwarna merah dihiasi lilin angka 20 tersuguh di depanku. Air mata menggenangi kelopak mataku.

“Mas, terimakasih ya…semoga aku senantiasa menjadi penyenang mata dan hatimu.”

“Kamu tidak berubah, masih seperti yang aku kenal dulu.”

“Ah…. mana mungkin?“

“Masih sama dong. Kamu statusnya masih kuliah kan?”

“Ooooh iyaaaa..” membuatku terkejut campur geli.

 

Adalah kebanggaan tersendiri memiliki kesempatan menjadi istri prajurit. Mas Riksani membantuku menjadi orang yang tidak mudah berlama-lama dalam kecemasan dan senantiasa bisa melihat pembelajaran dari setiap situasi. Karena kami ingin senantiasa berbagi. Bukan saja terbatas dalam kapasitas saya sebagai dosen, namun juga dimanapun kami berada. Terhadap istri anggota, masyarakat tempat kami tinggal dan terutama bagi sepasang buah hati kami. Persit Kartika Chandra Kirana, tempat saya ditempa dengan nilai ketauladanan, saling asah, asih dan asuh. Hiduplah bersaudara, untuk selama-lamanya.

 

Ayu Riksani Gumay

Istri Wadanrindam XVII/Cenderawasih

September 2021, Sentani-Papua




View all comments

Write a comment