Mengapa saya bangga menjadi pendamping prajurit TNI AD
Mengapa saya bangga menjadi pendamping prajurit TNI AD

By admin 02 Mar 2022, 05:05:36 WIT Persit

Mengapa saya bangga menjadi pendamping prajurit TNI AD

 

Nama saya Kartina Paksiningsih, sarjana kedokteran gigi. Dikaruniai 3 putra putri yang membuatku tak henti mengucap syukur. Dan telah diperkenankan mengarungi bahtera kehidupan pernikahan selama kurang lebih 21 tahun bersama dengan pria yang sederhana namun punya selera humor yang tak jarang membuat diriku terperangah karena tak pernah bisa menduga arah pembicaraannya. Ardian Triwarsana nama lengkapnya.

Mula perkenalan kami terjadi sekitar Desember 1998. Di Solo. Tepatnya di Grup 2 Kopassus, Kandang Menjangan, Kartosuro. Saat itu saya sedang dalam misi pesiar bersama rekan-rekan sekuliah yang sama-sama sedang mempersiapkan skripsi persyaratan wisuda kami. Salah satu teman kami yang kebetulan sudah menikah, mengundang kami mengunjunginya. Walau saya berasal dari keluarga tentara, namun memasuki komplek perumahan tentara tetap menimbulkan rasa yang membuat jantung berdegup sedikit lebih keras. Mungkin karena keteraturannya, mungkin karena kehadiran sosok berseragam loreng di beberapa sudut kompleks, atau mungkin karena suasana kompleks tersebut yang walau asri dan rindang, namun menyimpan banyak pergulatan batin dan fisik yang tidak sederhana.

Di rumah teman saya yang sederhana, terlihat juga beberapa rekan suaminya ikut hadir, namun tak terlalu kuperhatikan dengan seksama karena tujuan sesungguhnya adalah menengok rekan kami sekedar bertukar cerita pelepas rindu.

Selang beberapa waktu, tepatnya Januari 1999, ibu saya menerima kabar telepon dari temannya yang menanyakan tentang rekan wanita yang akan dikunjungi anak laki-lakinya yang notabene adalah perwira muda yang bertugas di Solo. Tak dinyana, rekan wanita yang dimaksud adalah diri saya sendiri. Saat itu kami baru saja memulai sebuah hubungan yang serius setelah sebelumnya saya memutuskan hubungan dengan pacar saya karena ketidakcocokan hati walau kami sudah berhubungan selama kurang lebih setahun.

Bukan sebuah kebetulan, keluarga kami sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan kedua ibu kami berasal dari kampung yang sama. Sesungguhnya, Aa Ardian rencana awalnya akan dikenalkan ke adik saya oleh keluarganya karena status mereka sama-sama masih lajang. Saya saat itu masih memiliki pasangan. Namun takdir berkata lain.

Pengalaman berpacaran dengan seorang anggota TNI AD memberikan nuansa yang sangat berbeda dengan apa yang pernah saya nikmati sebelumnya. Pasangan-pasangan saya sebelumnya lebih banyak berasal dari kalangan sipil dan berkecimpung di dunia medis seperti yang saya tekuni. Dan saya selalu menerima perhatian yang berlebih dari mereka. Dengan pasangan saya terbaru, jangankan perhatian. Saat hubungan kami baru saja bersemi, di bulan Februari Aa mengabarkan akan bertugas operasi selama 6 bulan. Di Ambon. Harapan saya untuk bisa menjalin komunikasi per telepon tidak bisa sepenuhnya terlaksana. Karena selain lokasi penugasan yang tidak pernah sama, kondisi di lapangan tempat Aa Ardian ditempatkan sangatlah tidak kondusif. Rindu yang memuncak saya luapkan ke perkuliahan yang saya tekuni. Untunglah ibu Aa Ardian sering bercerita tentang putranya, sehingga kerinduan saya sedikit terobati.

Tanpa terasa, Agustus 1999 tiba, tugas telah rampung. Kami mulai melanjutkan hubungan Solo-Jakarta relatif dengan lebih lancar karena komunikasi sudah lebih teratur dengan bantuan alat komunikasi.

Suatu hari di bulan September tahun 1999, rumah kami menerima kunjungan yang mengejutkan dari kedua orangtua Aa Ardian yang membawa sebuah bingkisan yang cantik yang membuat saya terperanjat dan tak mampu berkata-kata sejenak. Setelah berhasil menguasai keterkejutan yang menyergap, saya memberanikan diri untuk bertanya pada kedua orangtua Aa Ardian.

Bingkisan yang indah tersebut merupakan bentuk permohonan dari kedua orangtua Ardian untuk restu dari orangtua saya agar mengijinkan Ardian meminangku. Harapan orangtua Aa Ardian adalah agar hubungan kami lekas diresmikan melalui sebuah pernikahan setelah Ardian naik pangkat di bulan April 2000.

Pada dasarnya tidak ada keberatan dari orangtua saya. Namun mengingat wisuda saya akan  terjadi di bulan November mendatang, pihak orangtua saya mengajukan usulan pertunangan dilakukan terlebih dahulu sebelum peresmian hubungan kami di pelaminan.

Kedua belah pihak akhirnya menemukan kata sepakat bahwa lamaran resmi akan dilakukan usai wisuda saya di bulan November sekaligus menentukan tanggal pernikahan kami tanpa melakukan pertunangan.

Selama masa persiapan pernikahan, sambil saya memulai program Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang wajib kami lakukan sebagai dokter gigi muda di sebuah puskesmas yang lokasinya persis di samping Grup 2 Kandang Menjangan, Puskesmas 2 Kartosuro, saya juga mulai melengkapi berkas administrasi guna memenuhi persyaratan pernikahan.

Di masa ini juga, saya sekaligus berkesempatan mengenali Aa Ardian dari sudut pandang ibunya. Beliau mengambil inisiatif untuk membantu saya mempersiapkan diri menjadi pendamping yang tepat bagi putranya. Saya sangat bisa memahami kebanggaan seorang ibu atas putra pertamanya yang merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara. Aa Ardian adalah seorang yang berperilaku santun terhadap kedua orangtuanya dan sangat menaruh hormat pada ibunya. Menurut ibunya, sebagai orang yang pendiam, putranya yang tidak pernah sekalipun bercerita tentang prestasi atau kemampuan apa saja yang sudah diukirnya.

Tak terhitung jumlah informasi tentang kesukaan dan berbagai kebiasaan Aa Ardian yang dibagikan oleh beliau untuk kepentingan saya. Sempat terbersit dalam pikiranku keraguan akan kemampuan saya menjadi pendamping Aa Ardian yang tepat, seperti yang diharapkan oleh ibunya.

Namun beberapa kali, Aa Ardian membantu memberikan kekuatan dan ketenangan yang kuperlukan untuk melanjutkan persiapan kami menuju hari H yang dinanti.

Sebagai seorang yang cenderung untuk memikirkan kebutuhan orang lain dan mengabaikan banyak kebutuhan dirinya, saya mengerti bahwa kepekaan seorang ibu pasti akan mendorongnya untuk senantiasa berjaga dan memastikan kebutuhan putranya terpenuhi dengan kualitas terbaik yang bisa diberikannya. Mesti saya akui, Ardian memiliki penampilan yang cukup menawan dengan postur yang semampai. Namun yang cukup menarik perhatian saya sejak awal dari Ardian adalah kepercayaan dirinya yang baik. Sebagai seorang anggota satuan elit kebanggaan bangsa, Aa adalah orang yang rendah hati. Tidak pernah dia merasa memiliki kelebihan yang harus diketahui banyak orang. Perhatiannya ditunjukkan dengan cara yang tidak umum dan bukan untuk konsumsi orang banyak. Ardian memang orang yang pendiam.

Persyaratan untuk menjadi pendamping prajurit TNI AD ternyata tidak sederhana. Selain beragam formulir yang harus saya siapkan, sayapun harus menjalani tes keperawanan. Usai kelengkapan dokumen dipenuhi, kami berdua harus melewati berbagai wawancara dengan beberapa personil di kantor Aa Ardian. Dan yang terakhir adalah temu muka dengan Komandan Grup tempat Aa ditempatkan. Masih jelas dalam ingatan saya kecemasan yang akhirnya berubah menjadi kejengkelan karena permohonan kami yang ketiga kali masih juga belum berakhir dengan persetujuan dari Komandan.

Dalam emosi yang tinggi, sempat terpikir untuk menyudahi saja persiapan pernikahan kami karena merasa usaha dan niat baik kami seperti tidak dihargai oleh atasan calon suami saya. Namun sebagian dari hati kecil saya berbisik bahwa saya harus juga menghargai segala usaha dan dukungan yang sudah dilakukan oleh kedua orangtua kami. Saya tidak boleh cengeng dan mementingkan diri saya sendiri. Belum tentu saya bisa menemukan calon pasangan yang lebih baik. Apalagi prasyarat bibit, bebet, bobot sudah sangat terpenuhi. Dan satu hal yang paling meyakinkan diri sendiri adalah kenyataan bahwa Aa Ardian adalah seseorang yang sangat menyayangi ibunya. Hal ini membuat saya yakin bahwa ia akan menjadi suami yang tidak akan menelantarkan diri dan anak-anak mereka. Sayapun kembali tenang dan mempercayai tuntunan Yang Maha Kuasa. Tak lama berselang, kami akhirnya mendapat kesempatan bertemu dengan Dangrup 2 dan tandatangan beliau menyelesaikan semua prasyarat administratif yang kami perlukan. 1 Juli 2000 kami resmi menikah.

Seperti juga pasangan muda lainnya, kami segera ingin memiliki momongan. Namun kami masih harus bersabar beberapa saat karena saya mengalami keguguran. Saat itu, tanpa saya duga sebelumnya, Aa Ardian menunjukkan sisi yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Ia memperlakukan saya dengan penuh kesabaran, ketelatenan dan ketat dalam hal kegiatan yang boleh saya lakukan dan asupan gizi yang perlu saya konsumsi selain konsultasi rutin ke dokter.

Sebagai seorang pekerja keras dan penuh tanggung jawab, saya juga menyadari bahwa Ardian punya kebutuhan untuk diperhatikan dan dimanjakan. Awal pernikahan kami menjadi kesempatan kami untuk lebih mengenali kekuatan kami masing-masing yang menjadi pijakan kami dalam membangun rumah tangga kami sampai hari ini.

Walau dulu bayangan suami ideal yang saya miliki adalah seseorang yang memiliki profesi yang sama atau setidaknya berada pada jalur yang sama, namun bukan berarti profesi tentara tidak bisa menjadi suami ideal. Karena pada dasarnya, kualitas seorang suami terletak pada kualitas dalam dirinya. Antara lain, penuh perhatian dan tanggungjawab. kedua kualitas ini sudah saya temui dalam diri suami saya.

Kehidupan saya sebagai anggota Persit baru juga memiliki dinamika yang tidak jarang mengejutkan dan menciutkan hati. Perlakuan dari beberapa senior juga sering membuat saya menghela napas diam-diam. Apalagi dengan status saya sebagai istri yang bekerja.

Aa Ardian menjadi tempat saya satu-satunya mencurahkan semua kecemasan dan kegalauan saya. Saat-saat itulah saya diajarkan bagaimana menjadi tangguh dan dewasa dalam menghadapi mereka yang memilih untuk bertindak tidak sesuai dengan usia mereka. Aa Ardian juga berpesan untuk tidak menyimpan dendam kepada semua pihak yang kurang baik namun teruslah berbuat yang baik dan membawa kebaikan. Salah satu pesan yang tidak akan pernah saya lupakan adalah bahwa kita harus selalu memilih untuk bersikap dewasa mengingat usia kita yang setiap hari bertambah.

Tanpa saya sadari, rasa hormat dan banggaku makin besar terhadapnya. Ia sungguh orang baik dan berkualitas. Saya bersyukur karena saya dipilih untuk menjadi pendampingnya. Tugas yang diembannya tidak ringan. Dedikasi yang diperlihatkannya sangat membesarkan hati. Saya yakin ia akan membutuhkan pendamping yang tangguh dan dewasa juga penuh kelembutan hati. Sayapun bertekad untuk tidak mengecewakannya. Tidak mengecewakan kedua orangtua kami. Dan terutama, tidak mengecewakan diri saya sendiri.

Dengan status sebagai warga Grup 2 Kopassus, saya kini merasakan sendiri keteraturan hidup dalam kompleks tentara. Bagaimana terbentuknya keluarga baru yang diikat oleh perasaan senasib sepenanggungan selain keluarga sedarah. Mengingatkan saya akan keluarga saya sendiri yang hidupnya relatif teratur dan saling menjaga walau tidak berlimpah harta. Saya teringat teman-teman saat kuliah yang walaupun dari keluarga yang sangat mampu dari segi harta, namun tidak selalu memiliki ketenangan hati dan kebahagiaan yang dicari.

Awal kehamilan saya setelah keguguran diwarnai dengan lonjakan hormon yang lazim dialami ibu muda lainnya. Saya mudah muntah. Di awal cerita, saya pernah menyebutkan bahwa Aa Ardian punya selera humor yang tidak jarang mengejutkan. Namun berkat selera humornya, pengalaman saat kehamilan muda yang tidak enak menjadi kenangan yang menghibur. Kala itu, saya baru saja menghabiskan potongan pizza ke 6 dari 8 potongan pizza ukuran terbesar ketika mual tiba-tiba menyergap dan memaksa saya untuk berlari ke kamar mandi. Sambil memijati bahu dan punggung saya, Aa menghibur saya yang meminta maaf untuk kerepotan dan semua daging yang terbuang percuma karena saya muntahkan kembali. Komentarnya yang tenang, tanpa emosi namun membuat saya kaget campur geli adalah, “ya sudahlah, apa mau dimakan lagi itu daging-daging yang sudah berserakan di bawah?” sambil menunjuk serakan muntah saya di lantai kamar mandi.

Anak kami yang pertama lahir di bulan Juni 2002. Namun saya sudah harus ditinggal tugas. Ketakutan mulai merayapi hati dan pikiran saya sebagai seorang ibu muda dengan bayi kecil. Sebelum keberangkatan untuk tugas operasi yang sesungguhnya, saya harus merelakan keberadaan Aa Ardian untuk beberapa latihan sebagai persiapan pratugas yang harus dilakukan.

Malam sebelum keberangkatannya, saat sedang menyiapkan baju-baju dan perlengkapan diri lainnya, saya tak dapat lagi membendung kekawatiran dan kecemasan saya. Tumpahlah tangisku. Namun saya dan Nara, buah hati kami ikut hadir melepas satuan yang akan berangkat tugas keesokan harinya.

Aa Ardian kembali dari tugas saat Nara berusia 9 bulan. Walau Nara tidak merasakan kehadiran ayahnya, kelekatan hati dan emosi Nara terhadapnya sama sekali tidak terganggu saat Aa mengulurkan kedua tangannya dan memeluk buah hati kami.

Suatu malam, saya melihat Aa membereskan baju-baju dan perlengkapan lain. Naluri saya mengatakan ada yang tidak semestinya telah terjadi. Rasanya baru saja kami menikmati kebersamaan kami sebagai keluarga muda yang lengkap, namun sepertinya Aa akan meninggalkan kami lagi. Memang tadi pagi saya mendengar ada perkembangan yang tidak mengenakkan terjadi di Papua. Ada situasi kritis di Wamena yang harus segera dituntaskan. Dan mengingat situasi dan kondisi yang terjadi, diperlukan pasukan yang sudah mengenal baik seluk beluk daerah tersebut. Aa termasuk didalamnya.

Namun ego saya tidak bisa menerima kenyataan ini. Ketika saya menanyakan pada Aa, dia diam seribu bahasa. Saat itu, emosi saya memuncak dan saya berpikir untuk menyudahi saja perkawinan kami karena saya merasa terus menerus harus mengerti kebutuhan orang lain tanpa mempedulikan kebutuhan kami sendiri. Saya tidak mengerti mengapa harus Aa lagi yang berangkat. Bukankah masih banyak anggota lain yang mampu dan bisa melakukan tugas yang ada. Komunikasi dari Aa malam itu tidak lebih dari dua kalimat saja. Tidak ada penjelasan lain yang saya dapatkan. Khusus malam itu, Aa memelukku dengan lebih erat tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Baru setelah kembali dari tugas Wamena, saya mendapat penjelasan dari suami saya. Saat itu Aa sendiri diliputi kegalauan dan konflik diri yang sangat tinggi sehingga tidak mampu berkata-kata bahkan untuk menghibur saya. Sebagai prajurit TNI AD yang patuh pada perintah, walau belum sepenuhnya bisa memuaskan rindu pada keluarga, Ardian tidak akan mungkin menolak. Ditambah dengan kecemasan akan keselamatan dirinya karena mengetahui betapa berat medan dan situasi yang akan dihadapi di Wamena. Aa seperti disadarkan kemungkinan tidak kembali dengan selamat ke keluarga barunya. Pelukan yang dilakukan Aa seperti ingin meyakinkan dirinya bahwa ada keluarga yang menantinya di Solo. Dan kekuatan itulah yang menyertai keberangkatannya bersama dengan pasukan tambahan dari Jakarta.

Kami pindah ke Bogor tahun 2003. Saya sudah menyelesaikan PTT dengan lancar dan baik. Di bulan Desember 2003, saya resmi terdaftar sebagai PNS Kemhan. Perjalanan kami sebagai satu dari sekian keluarga militer lainnya memang tidak mudah, namun justru saya menemukan banyak kekuatan dan penghiburan dari saudara-saudari baru yang kami temui sepanjang perjalanan penugasan kami. Menjadi bagian dari keluarga militer memang tidak mudah, tapi justru disinilah letak kebanggaan saya.

 

 

 

Nama: Kartina Paksiningsih

Nama suami: Ardian Triwarsana

Jayapura, 11 September 2021

 

 

 




View all comments

Write a comment