MENJADI ISTRI YANG MANDIRI

By admin 16 Des 2021, 19:44:16 WIT Persit
MENJADI ISTRI YANG MANDIRI

“MENJADI ISTRI YANG MANDIRI”
(Pengalaman Mendampingi Suami Tugas Di Papua)

Bismillahirrahmannirrahim
26 Tahun sudah saya lalui kehidupan saya dengan mendampingi seorang prajurit TNI-AD dengan penuh suka, duka, senang, bahagia dan juga pada saat susah. Saya sangat bersyukur dapat melalui semua itu dengan penuh rasa cinta, kepercayaan dan tanggungjawab.
“Dian Nurlaeni” ya, itu saya. saya adalah seorang gadis kampung yang lugu dan polos yang ditakdirkan untuk dinikahi oleh seorang prajurit TNI-AD. Tanggal 22 Agustus 1995, saya resmi menjadi Anggota Persit, rumah saya bersebelahan dengan Batalyon Infantri 330, di Cicalengka. Sudah menjadi jodoh dan takdir menjadi istri prajurit dan resmi menikah pada tahun 1995. Sejauh saat itu, saya tinggal di perumahan batalyon yang hanya walaupun dengan berjalan kaki sudah bisa sampai di rumah dinas saya dan suami. Waktu itu pernah terbesit dipikiran saya antar percaya dan tidak seoroang gadis kampung bisa menjadi istri tentara dengan pangkat suami pada saat itu yaitu Bintara (Sersan Dua). Saya bersyukur karena di kampung halaman saya hanya dua orang yang dinikahi oleh tentara Batalyon itu, salah satunya adalah saya.
Pada saat itu, dengan suasana yang baru menjadi istri prajurit juga anggota persitsaya pun langsung mengikuti dan menyesuaikan peraturan yang ada di lingkungan Asrama. Kegiatan di asrama yang biasa kami lakukan seperti kegiatan oelahraga bersama, memperindah rumah dengan tanaman-tanaman hidroponik, membersihkan area lingkungan asrama bersama-sama dan lainnya. Alhamdulillah, lambat laun kamipun sudah bisa menyesuaikan dengan lingkungan sekitar asrama. Seiring berjalannya waktu tidak harus menunggu lebih lama pada tahun yang sama kami langsung diberikan kepercayaan oleh Allah SWT dan diberikan keturunan. Menjelang kehamilan menuju 7 bulan, suami saya ditugaskan berangkat ke papua untuk pembebasan Sandra (Mapanduma 1996) yang waktu itu bersama Tim Rajawali. Tidak Lama setelah keberangkatan suami saya ke papua, saya melahirkan anak pertama berjenis kelamin laki-laki pada tanggal 2 mei 1996 tanpa didampingi oleh suami, pada saat itu saya sangat sedih karena melahirkan anak pertama tanpa, suami tapi ya mau bagaimana lagi itu sudah menjadi resiko sebagai seorang istri prajurit TNI-AD. Setelah 2 bulan melahirkan, Alhamdulillah suami saya dan anggota batalyon infantri 330 yang lain pulang dengan selamat dan berhasil menjalankan tugas dengan baik. 
Aturan dan kegiatan yang seperti biasa dilakukan oleh seorang prajurit di Batalyon, saya sudah terbiasa di tinggal-tinggal oleh suami baik untuk latihan terjun ataupun latihan untuk pra tugas. dengan berjalannya waktu, saya dan suami menjalaninya bersama dengan penuh kebahagiaan selagi menjadi anggota persit maupun sebagai ibu rumah tangga. Pada tahun 1997, ternyata kami diberikan kepercayaan kembali dan dikaruniai lagi seorang anak perempuan, jadi ceritanya sundulan hehe. Karena waktu anak pertama lahir suami saya tidak bisa ikut mendampingi jadi suami saya bilang tidak usah KB karena saya mau melihat perempuan melahirkan itu seperti apa. Jadi, Alhamdulillah waktu melahirkan anak ke 2, suami saya bisa mendampingi saat persalinan saya di RM. DUSTIRA. 
Pada saat anak saya berumur 7 bulan, suami saya ditugaskan kembali  ke papua selama 15 bulan pada tahun 1998. Karena sudah sering ditinggal tugas suami, kita para istri dan anak-anak sudah harus hidup mandiri di rumah dinas, dengan alat komunikasi saat itu hanya lewat surat menyurat dengan waktu 1 bulan baru mendapat balasan surat. Kalaupun ada telfon, itu juga harus bergiliran. Kita harus pergi ke WB/atau penjagaan di depan atau di dekat kompi yang pada hari itu sudah tertera jadwalnya siapa saja yang  mendapatkan jadwal ditelfon suaminya  dan harus menunggu giliran dengan ibu-ibu yang lain. 
Rasa khawatir, sedih, dan rindu selalu menjadi pikiran kita bagi istri-istri prajurit yang ditinggal bertugas oleh suaminya. Tetapi rasa itu semua kita bisa lalui dengan cara mengadakan doa bersama yang rutin bergiliran dari rumah ke rumah, kemudian kegiatan-kegiatan yang selalu kita adakan seperti senam wajib, olahraga volly dan lainnya. Tidak terasa 15 bulan telah berlalu dan akhrinya suami saya dan anggota batalyon pun sudah kembali dsri penugasan dari papua dengan keadaan sehat dan selamat. Hanya beberapa bulan dirumah, suami saya kembali berangkat lagi tapi kali ini bukan untuk penugasan keluar provinsi lagi tetapi untuk mengikuti sekolah secapa yang insyaallah dilaksanakan 1 tahun lebih dengan mengikuti pendidikan. Dan tibalah saat penempatan.
Akhirnya suami saya mendapat penempatan di Kodam Cenderawasih. Dengan berat hati, saya dan suami harus meninggalkan orang tua dan saudara-saudara dikampung . Setelah berpamitan, alhamdulillah orang tua dan saudara menerima dengan ikhlas dan saya langsung mengikuti suami dengan membawa 2 orang anak berangkat ke Irian Jaya. Pada saat itu, kalau tidak salah pada bulan april tahun 2000 kami tiba di Irian Jaya dengan memakai kapal laut dari pelabuhan tanjung perak. Berjalan waktu, suami saya kini ditempatkan di Korem 172/PWY. Selama di korem juga banyak cerita suka duka kami yang selalu di tinggal ngepos ke pedalaman. Belum ada 1 tahun kami pindah ke Irian Jaya, saya dan anak-anak sudah ditinggal lagi suami saya untuk berangkat ngepos ke daerah Bonggo, waktu itu perjalanannya sangat susah dilalui untuk  jalan darat tetapi sekarang sudah sangat mulus.
Beberapa bulan suami saya bertugas disana, dia terkena penyakit malaria tresiana +4 dan tropika +4 dan langsung dibawa ke RS ARYOKO, saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi dengan kondisi suami saya yang sudah di ikat tangan dan kakinya karena suka berontak. Disitulah dukanya dan resiko kalau sudah kena malaria yang membuat saya ingin pulang kampung terus-menerus. Tetapi itu semua tetap kami jalani dengan keadaan senang karena saya berfikir mau tidak mau saya harus menerima dan menjalaninya dengan hati yang ikhlas. Suatu hari, ceritanya saya bersama suami pergi kepasar untuk membeli belanja kebutuhan sehari-hari seperti sayuran dan perlengkapan rumah, tidak sadar pada saat saya berjalan-jalan untuk melihat-lihat sekitaran pasar saya menginjak sebuah karung, di tempat mama-mama jualan sayuran yang di gelar dibawah dan keinjak ujung karungnya sama saya, gak sengaja, tetapi tiba-tiba saya di marah sama mama-mama itu dan saya merasa sakit hati sekali dan kapok sementara itu untuk tidak pergi ke pasar lagi, hehee. Setelah lama saya tinggal di papua, saya sudah mengerti watak dan sifat masyarakat disini, ternyata mereka memang sudah terbiasa dengan suara yang keras dalam berbicara, dan untuk orang sunda yang seperti saya mungkin terdengarnya itu seperti marah-marah tetapi tidak dan sekarang saya sudah mulai terbiasa dengan masyarakat disini. 
Sudah banyak sekali cerita dan pengalaman saya baik yang sedih dan bahagia di Papua ini. Dengan kejadian-kejadian seperti demo-demo, orang mabuk, dan lain-lainnya lama kelamaan saya juga jadi terbiasa dengan kejadian yang sering terjadi di Papua ini. Begitupun dengan tugas-tugas suami saya disini banyak sekali yang membuat saya sebagai istri merasa khawatir dan was-was. Tetapi saya disini bersama anak-anak selalu meminta doa dari orang tua agar kita disini selalu dalam lindungan Allah SWT dan selalu diberikan kemudahan dalam segala hal. Banyak sekali pengalaman dari kejadian-kejadian yang kami rasakan di Papuaini, tetapi kita menjalaninya dengan penuh kebahagian saja. Saat yang paling menyedihkan itu ketika kita kangen dengan orang tua, rasa ingin bertemu atau pada saat lebaran dll kita tidak bisa dengan mudahnya untuk bertemu, selain karena perjalanan yang jauh dan memakan waktu berminggu-minggu, untuk biaya pulang kampung juga yang masih mahal. Kalau dipikir-pikir kalau mau pulang kampung harus membeli tiket pulang pergi dan harus mempunyai tabungan. Jadi belum tentu dalam 5 tahun itu kita bisa pulang kampung untuk bertemu orang tua dan saudara. Tetapi alhamdulillah orang tua dan saudara juga memaklumi saya dengan memikirkan keadaan saya dan suami disini. 
Pada tahun 2004 dan 2011 saya dan suami diberikan kepercayaan kembali dengan diberikan anak-anak yang ganteng dan cantik. Sudah 2 pasangan ternyata anak kami hehe akhirnya suami memutuskan untuk tidak lagi mempunyai anak, katanya sudah cukup kita mendapat anak 2 dari Bandung dan 2 dari Papua. Walaupun saya sering ditinggal-tinggal suami untuk bertugas ke pedalaman, dengan berjalannya waktu saya sudah terbiasa dengan mengisi waktu-waktu itu dengan kegiatan saya di persit juga sebagai pengurus, jadi saya tidak bosan dan sendirian karena banyak ibu-ibu lain juga yang sama nasibnya dengan saya hehehee.  Menjadi pengurus sudah menjadi tanggungjawab saya sebagai ibu persit, juga banyak sekali pengalaman-pengalaman yang berarti buat saya dan tentu untuk menambah wawasan dan ilmu yang bermanfaat untuk saya selama mendampingi suami sebagai seorang prajurit. Banyak kegiatan-kegiatan yang diadakan dalam pengurus, contohnya kita bisa jalan dan berkunjung kepedalaman-pedalaman yang ada di papua ini bersama-sama rombongan ibu ketua koorcab yang itu tidak akan mungkin kita lakukan apabila kita bukan pengurus. Banyak suka duka dan asam garamnya yang saya rasakan selama tergabung dalam pengurus. Tetapi saya selalu berusaha menjalaninya dengan hati yang senang, tulus, ikhlas dan selalu bersyukur dengan semuanya yang membuat saya bisa bertahan sampai saat ini.
Dengan mendampingi suami bertugas di korem 172/PWY, Alhamdulillah tidak terlalu banyak suami saya diberikan tugas-tugas yang membuat saya sebagai istri spot jantung setiap harinya hehe, karena kesini-kesini sesuai jabatan dan tugas suami lebih banyak bekerja ditempat dan jarang bertugas keluar. Paling sekali-sekali  kalau ada kegiatan diluar paling lama 1 bulan atau 2 minggu saja. Untuk cerita dan pengalaman yang paling sering terjadi dan paling saya ingat yaitu pada saat demo besar-besaran uncen berdarah pada tahun 2006. Suasananya sangat mencekam, orang-orang sudah banyak yang berlarian, suami masih dikantor dan kebetulan anak-anak masih di sekolah, kami di kompleks hanya bisa berkumpul di depan rumah bersama ibu-ibu yang lain hanya bisa berdoa saja. Mau jemput anak-anak juga takut dijalan tapi kalau gak dijemput juga takut ada apa-apa dengan anak-anak, jadi disitulah kadang kita harus berfikir kalau suami tentara, anak dan istrinya tidak diperhatikan. Jadi kita sebagai istri harus bisa bagaimana caranya untuk bisa mengamankan semuanya dan tetap harus mandiri. 
Adapaun kejadian yang tidak bisa saya lupakan adalah pada saat tetangga dibelakang rumah kami di korem 172/PWY bernama (ALM. Kapten Tasman). Beliau mau berangkat ke kantor, kebetulan beliau sudah pindah ke Kodam waktu itu, di bulan puasa kalau tidak salah tahun 2012. Beliau pergi ke Kodam menggunakan sepeda motor melewati jalan belakang perumnas 3 karena beliau harus mengantarkan istrinya mengajar terlebih dahulu di smp 11 waena. Diperjalanan beliau dibegal lalu dibacok lehernya dan meninggal ditempat. Itu juga kejadian-kejadian yang membuat kita merasa takut dan ingin pindah dari papua ini. 
Setelah 16 Tahun suami ditugaskan di Korem 172/PWY, akhirnya kami dipindahkan di Kodam Cenderawasih kembali pada Tahun 2017. Alhamdulillah dengan berjalannya waktu, kami sekeluarga dan saya yang setia mendampingi suami selama bertugas di Papua saat ini sudah 21 Tahun. Kami sudah memepunyai 4 anak dan 2 cucu. Kami menjadi kehidupan sehari-hari dengan suka duka, sangat bahagia dan selamat sehat sampai saat ini. Banyak pengalaman-pengalaman kami selama tinggal di Papua ini yang tidak bisa kami tuliskan panjang lebar disini, itu semua hanya akan menjai kenangan indah yang tidak akan kami lupakan dan nantinya akan menjadi kenangan dan cerita untuk anak cucu kami kedepannya. Tidak ada yang harus ditakutkan atau merasa dibuang jauh karena suami bertugas di Papua dan tidak perlu takut untuk kita takut tinggal di Papua karena di Papua dikenal dengan masyarakat yang mempunyai nilai toleransi yang sangat tinggi antar sesama manusia yang penting kita selalu berdoa, bersyukur dan selalu berprasangka yang baik, Insyaallah semua yang akan terjadi selalu berjalan dengan baik dan selalu ada dalam lindungan Allah SWT. Saya bangga menjadi Istri Prajurit.           

BIODATA

Nama                             : Dian Nurlaeni                 
Tempat Tanggal Lahir    : Bandung, 7 Juni 1975
Nama Suami                 : Mayor CHB Andi Sutisna 
Jabatan                         : Wadan Denhub Rem 172 (HUBDAM) XVII Cenderawasih.




View all comments

Write a comment