Saksi hidup kerusuhan di Entrop Agustus 2019
Saksi hidup kerusuhan di Entrop Agustus 2019

By admin 02 Mar 2022, 06:27:08 WIT Persit

Saksi hidup kerusuhan di Entrop Agustus 2019

Sore itu saya bersama 3 putra putri kami sedang berada di rumah. Asrama Bucend II, Entrop. 19 Agustus 2019. Hiasan yang dipasang untuk memeriahkan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 74 masih tergantung dengan rapi dan membuat elok pemandangan di tempat kami tinggal. Tiba-tiba saya mendengar suara orang-orang berlarian masuk ke kompleks perumahan kami. Jumlah mereka semakin banyak.

Ada apa gerangan? Apakah ini bagian dari kegiatan lomba? Siapa yang dikejar?

Lewat kaca jendela rumah kami, saya perhatikan orang-orang yang berlarian masuk ternyata bukan warga yang biasa tinggal di kompleks kami. Naluri saya mengatakan ada yang tidak beres.

Isu yang beberapa hari sebelumnya beredar mengatakan akan terjadi demo di Jayapura. Salah satu dampak kejadian di Surabaya. Saya berpikir masalah tersebut sudah tertangani dengan baik. Karena Presiden sudah berbicara di TV. Permintaan maaf sudah disampaikan. Tersangka pemicu kejadian di Surabaya sudah ditangani pihak berwajib. Tapi sepertinya tidak demikian.

Saat orang-orang mulai melarikan diri ke asrama kami, saya juga mendengar berita tentang pembakaran yang terjadi di sekitar asrama kami. Papua Trade Centre yang terdiri dari berbagai kios sudah mulai terbakar. Demikian juga halnya dengan toko-toko di Hamadi. Toko dan warung yang berlokasi di Entrop pun tidak luput dari sasaran amuk massa. Massa yang merupakan orang-orang gunung telah dan sedang melakukan perusakan dan pembakaran.

Orang-orang yang berlarian ke dalam kompleks kami bukan sedang mengejar apa-apa. Mereka ternyata sedang mencoba menyelamatkan diri semampunya. Asrama militer diyakini akan memberikan perlindungan yang dibutuhkan. Melihat situasi yang sudah tampak akan tidak menjadi lebih tenang, saya memutuskan untuk menggiring ketiga anak kami ke sebuah Gereja yang berlokasi dekat rumah kami di Asrama. Ternyata Aula Gereja sudah dipenuhi banyak orang. Sebagian kami kenal. Namun sebagian besar adalah warga luar asrama. Wajah mereka mencerminkan perasaan yang jelas ketakutan. Campur kebingungan dan keputusasaan karena toko, warung dan tempat tinggal mereka menjadi sasaran amuk orang-orang tidak dikenal yang kebetulan melintas di jalan dekat lokasi toko, warung atau tempat tinggal mereka. Saya belum bisa menghubungi suami saya. Panggilan saya seperti tidak terjawab. Saya mencemaskan keadaannya. Saya ingin bercerita tentang apa yang terjadi di tempat kami tinggal. Saya ingin bertanya apa yang terjadi? Akankah pertolongan diturunkan?

Saat saya berkumpul di Aula Gereja bersama anak-anak kami, percakapan warga memberikan saya sebagian informasi yang saya cari. Orang-orang gunung yang jumlahnya tidak sedikir mulai berduyun-duyun turun memenuhi Jayapura. Termasuk Entrop. Mereka mengungkapkan kemarahan mereka atas kejadian di Surabaya. Ujaran yang dianggap menghina penampilan dan perawakan orang Papua. Dan tentu saja, alasan untuk merdeka, memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia karena merasa tidak pernah dihargai.

Dalam suasana yang mulai meninggi tingkat ketegangannya, pembakaran mulai terjadi. Diawali dengan pembakaran ban bekas, namun dengan cepatnya situasi merembet ke pembakaran mobil lalu pembakaran bangunan. Warung, kios, toko dan pusat perdagangan. Tak ada yang luput.

Saya terpekur sesaat. Menyadari ironi yang tiba-tiba hadir. Saya bersama ke 3 anak kami sedang tercekam dalam suasana yang tidak dapat diduga. Tanpa kehadiran dan perlindungan dari suami dan bapak anak-anak kami yang anggota Polisi Militer TNI AD. Padahal saya ingat bahwa salah satu tugas Polisi Militer adalah antara lain memelihara dan memastikan tata tertib di lingkungan tentara.

Saya menikah dengan Kopda Immanuel Haidison Laim, seorang anggota Polisi Militer TNI AD pada tanggal 12 April 2003 di Nabire, tempat kami bertemu saat Bapak, demikian saya dan anak-anak menyapanya, bertugas. Kami dikaruniai 3 putra putri. Walau lahir dan besar di Sorong, Papua Barat, keluarga besar suami saya berasal dari Ambon. Kami memutuskan untuk melangsungkan pernikahan kami di Nabire karena selain sebagai tempat kelahiran saya, Nabire juga tempat saya bertemu dengan suami saya.

Kami memulai hidup berkeluarga di Jayapura. Kota yang sudah saya akrabi sejak 1999 saat saya melanjutkan pendidikan di Fakultas Teknik Sipil Universitas Cenderawasih. Setelah menikah, saya memutuskan untuk memprioritaskan waktu dan tenaga saya membangun dan merawat keluarga saya. Walau suami mendukung saya untuk melanjutkan kuliah saya yang hampir rampung, tapi saya sudah berketetapan hati untuk memilih keluarga yang utama.

Akhirnya saya punya kesempatan berbincang sebentar dengan suami. Jalur komunikasi mulai terganggu. Banyak panggilan tidak bisa mencapai nomor yang dituju. Suami jelas tidak mungkin meninggalkan tugasnya mendampingi Panglima. Tapi untunglah dia dalam keadaan baik dan tak kekurangan hal apapun. Ia pun lega mendengar kami berempat sudah berkumpul bersama di Aula Gereja. Mengingat situasi dan kondisi saat itu, kami sepakat untuk tidak kembali ke rumah kami. Walau rumah kami berada di Asrama, namun keamanan kami lebih terjamin jika berada bersama-sama di Aula Gereja. Memudahkan pengawasan. Saya hanya pulang sebentar untuk mengambil beberapa keperluan. Seperti bahan makanan yang masih bisa saya temukan di rumah dan beberapa selimut serta pakaian.

Suasana semakin mencekam ketika semua pria yang berada di Aula Gereja memutuskan untuk mempersenjatai diri ini dengan berbagai senjata tajam yang tersedia. Sebagai antisipasi kompleks kami kemasukan kelompok orang gunung yang ingin melampiaskan kejengkelan mereka. Lagipula tidak seorangpun bisa memastikan kehadiran aparat keamanan dalam waktu cepat. Di luar, teriakan-teriakan lantang yang bersahutan semakin memperkeruh suasana. Belum lagi suara tembakan yang sudah mulai terdengar disana sini.

Ketakutan kami semakin bertambah. Semua orangtua memeluk anak-anak mereka erat-erat. Tubuh anak kami yang kedua mulai gemetar, wajahnya menunjukkan trauma yang mendalam. Saat kejadian, ia duduk di kelas 2 SMP. Saya berusaha menenangkannya. Sambil membelainya saya bisikkan kata-kata yang saya harapkan bisa menenangkannya,

walau hati dan pikiran saya sendiri belum bisa sepenuhnya tenang.

“Mama disini bersamamu. Kamu tidak sendirian. Nanti sebentar akan ada pertolongan.”

“Kamu harus berani ya, sayang. Ikuti dan dengar Mama baik-baik ya. Supaya jangan terpisah dari Mama.”

Pikiran saya melayang ke suami saya. Percakapan kami tadi begitu singkat. Saya tidak sempat bertanya sebanyak yang saya ingini. Apakah yang terjadi di daerah kami juga terjadi di daerah tempat suami saya bertugas? Karena saya sama sekali tidak tahu apakah kerusuhan dan pembakaran juga terjadi di sudut lain kota Jayapura.

Malam itu kami tidur bersama-sama dengan puluhan keluarga lain. Perut kami belum sepenuhnya kenyang. Namun setidaknya kami dalam keadaan yang lebih baik karena masih ada atap di atas kepala kami. Dan masih ada tempat untuk melepaskan kepenatan fisik dan terutama mental yang sudah menguras tenaga kami sejak sore. Masing-masing keluarga larut dalam emosinya masing-masing. Sebagian yang berlindung di tempat yang sama masih memiliki rumah untuk kembali. Sebagian sudah tidak memiliki apa-apa lagi.

Saya ingat kami baru bisa kembali ke rumah kami kembali setelah 4 hari berada di Aula Gereja. Situasi yang mencekam di Entrop mulai mencair dengan kehadiran beberapa personil militer yang menjaga Asrama kami. Namun beberapa warga yang mengalami kerusakan rumahnya yang parah akibat amuk massa terpaksa tinggal lebih lama, sekitar 2 minggu.

Semakin hari, semakin banyak informasi yang beredar tentang apa yang telah terjadi. Pembakaran ataupun perusakan bukan hanya merupakan tanggungjawab orang-orang gunung semata. Karena beberapa kelompok pendatang yang tidak menerima kerusakan yang dialami toko atau rumah mereka melakukan hal yang sama. Bentuk pembalasan.

Berbagai aparat pemerintahan melakukan tindak lanjut begitu situasi sudah terkendali dan dikuasai oleh aparat keamanan. Asrama kami berkesempatan dikunjungi Dinas Sosial Pemda khususnya Aula Gereja untuk mendata jumlah pengungsi. Kami semua menyambut dengan gembira bukan kepalang ketka kami menerima bahan makanan yang dikirim oleh Dinas Sosial setelah kunjungan mereka. Mengingat kegiatan perdagangan masih bisa dikatakan lumpuh sama sekali pasca kerusuhan. Sebagai bagian dari aksi bela rasa, kami ibu-ibu warga kompleks mengkoordinasi kegiatan memasak dan penyaluran konsumsi bagi para pengungsi.

Kejadian yang mencekam di Entrop sangat disesali kelompok orang pantai yg tinggal di daerah sekitar. Karena tindakan kelompok orang gunung memicu kerusuhan dan kerusakan yang tidak kecil. Untuk itu, kelompok orang pantai memutuskan untuk memasang portal di beberapa tempat sebagai penahan masuknya orang-orang yang tidak dikenal utamanya kelompok orang gunung untuk menghindari kerusuhan baru.

Kejadian Senin lalu 19 Agustus merupakan pengalaman pertama kalinya dalam hidup saya. Kejadian ini jauh lebih mengerikan dibanding perang suku yang pernah saya saksikan di Nabire. Perang suku hanya melibatkan penebangan pohon untuk dijadikan penghalang atau ‘palang” demikian orang sini menyebutnya. Sesekali ada teriakan dilontarkan namun tidak lebih dari hanya sekedar tanda.  Bukan sebagai tanda untuk memulai sebuah gerakan merusak seperti yang saya pernah saksikan beberapa hari lalu.

Perasaan saya setelah kejadian Senin lalu campur aduk. Kaget. Marah. Sekaligus sedih.

Kaget karena seumur-umur saya belum pernah mengalami kejadian seperti ini. Beruntung kami berada di dalam kompleks militer. Beruntung anak-anak berada bersama saya di rumah. Beruntung kami dalam keadaan aman dan tidak kekurangan sesuatu, walau anak kami sempat mengalami trauma beberapa waktu. Kami hanya berharap trauma itu akan hilang sepenuhnya dengan berjalannya waktu. 

Kerusakan yang sudah terjadi menimbulkan kemarahan dalam diri saya. Tindakan beberapa saudara kami yang tidak bertanggungjawab sudah merusak Entrop, daerah tempat kami tinggal. Saya memang berasal dari Bapak Mama orang Manado, namun dalam hati kecil saya, saya selalu merasa sebagai orang Papua karena saya lahir dan besar di Nabire. Kedua orangtua sayapun menikah di Nabire. Saya lebih merasakan kelekatan emosi dengan tanah Papua daripada Manado. Mungkin karena kunjungan kami ke kota asal orangtua saya di Manado bisa dihitung dengan tangan. Namun sudah lama saya tidak pernah berani secara lantang menyebut diri saya orang Papua terutama sejak status otonomi khusus diberlakukan. Saya kini mengaku orang Manado yang lahir dan besar di Nabire. Saya tidak ingin menimbulkan cemooh atau dianggap berharap mendapat prioritas atau perlakuan khusus karena berani menyebut diri orang Papua.

Saya tidak habis pikir atas tindakan mereka yang membakar tower telekomunikasi dan kabel koneksi antar pemancar milik PT Telkom. Hubungan telekomunikasi dan jaringan data jadi terputus selama lebih dari 1 bulan. Dan semua orang di Jayapura mengalami kelumpuhan komunikasi. Kabarnya kantor Majelis Rakyat Papua pun tak luput dari pembakaran.

Kejadian di Entrop juga menimbulkan banyak penderitaan baru. Begitu banyak rumah dan toko yang kondisinya rusak parah bahkan ada yang sama sekali tidak tersisa apapun. Kemajuan yang sudah diraih kini hampir tak berbekas. Pasti meninggalkan trauma mendalam bagi pendatang. Dan menimbulkan kesan bahwa orang Papua tidak ramah bagi pendatang. Kesulitan mencari bahan makanan sehari-hari karena banyak pedagang yang tidak bisa berjualan juga hanya tinggal menyisakan kesedihan campur kemarahan.

Namun dibalik malapetaka yang terjadi, kejadian yang sama merupakan kesempatan untuk mengingatkan kami untuk melakukan hal yang lebih penting dan bermanfaat. Dalam kesedihan dan kemarahan kami, kami juga tidak boleh melupakan mereka yang lebih menderita dari kami. Terutama mereka yang berprofesi sebagai supir taxi dan ojek. Karena dengan kelumpuhan yang melanda daerah Entrop dan sekitarnya, mereka tidak dapat beroperasi sama sekali.

Dari berbagai berita yang kami baca dan tonton, kami baru mengetahui bahwa kerusuhan yang terjadi di Entrop merupakan bagian dari kerusuhan yang melanda berbagai kota di Papua dan Papua Barat termasuk di Jayapura. Hati kecil saya selalu mendoakan agar peristiwa di tahun 2019 lalu tidak akan pernah terjadi lagi. Papua memerlukan pembangunan bukan perusakan. Supaya kami di Papua juga bisa menikmati semakin banyak fasilitas seperti yang sudah dinikmati oleh saudara-saudara kami di pulau lainnya. Supaya semakin banyak orang tahu bahwa orang Papua juga mampu berdiri sama tegak membangun dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti saudara kami lainnya.

Kini Papua sedang bersiap untuk sebuah pesta besar. Kami semua menundukkan kepala, mengangkat doa untuk keberhasilan acara ini. Sekaligus sebagai persembahan sekian banyak kerja keras dari banyak orang di Papua ini, sipil, Polisi dan TNI.

Nama: Detty

Nama suami: Serma Immanuel Haidison Laim

Satuan: POM Dam XVII




View all comments

Write a comment