I Leave My Heart in Lhoknga Aceh

By admin 15 Des 2021, 16:56:25 WIT Persit
I Leave My Heart in Lhoknga Aceh

Saat senja kududuk di tepi Pantai Hamadi Jayapura, di ujung Timur Indonesia, ingatanku menerawang jauh pada kenangan 24 tahun yg lalu. Saat itulah pertama kalinya aku diboyong oleh Mas Eko ke Lhoknga Aceh Besar, di ujung Barat Indonesia. Di sanalah tempat pertama kalinya Mas Eko berdinas di Denzipur 1/DA Dam I/BB, di wilayah Korem 012/TU Aceh. Pada saat itu Mas Eko masih berpangkat Letnan Satu dan menjabat sebagai Kasi Intel/Ops di Denzipur 1/DA Dam I/BB.

Pada saat itu Aceh masih merupakan Daerah Operasi Militer (DOM) dikarenakan adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Di sana pulalah saya pertama kali menjadi seorang Persit dan langsung diangkat menjadi Pengurus Persit sebagai Ketua Seksi Organisasi di Ranting BS 1 Denzipur 1 PD I/BB. Perubahan yang sangat besar, dari saya yang seorang gadis biasa kemudian menjadi Ibu Persit yang segala sesuatunya diatur, menjunjung tinggi etika, batasan senior junior yang sangat jelas dan tanggung jawab yang sangat besar, tentu membuat saya menjadi kaget dengan segala perubahan yang terjadi.

Dari situlah saya harus belajar menjadi pribadi yang dewasa, beretika dan bertanggung jawab. Alhamdulillah saya dipertemukan dengan Ibu Ketua, Ibu Wakil dan Senior yang berkenan mengajari saya tentang Persit. Dengan berjalannya waktu, saya harus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi dengan kondisi politik saat itu yang menjadikan Aceh Daerah Operasi Militer (DOM) dimana saya harus menyikapi segala sesuatunya dengan dewasa dan mandiri. Yang saya ingat sampai sekarang, senior saya mengajarkan 3 hal yang penting dalam hidup saya sebagai seorang Ibu Persit, yaitu : siapa saya, dimana saya dan apa yang harus saya lakukan. Dari 3 hal tersebut, saya belajar menerapkannya didalam kehidupan saya sebagai Ibu Persit.

  1. Siapa Saya

Saat itu saya sebagai istri dari Lettu Czi Eko Pujianto yang menjabat sebagai Kasiintel/Ops, otomatis saya menjadi anggota Persit Kartika Chandra Kirana Ranting BS 1 Denzipur 1 PD I/BB dan saya di kepengurusan menjabat 

sebagai Ketua Seksi Organisasi Persit Kartika Chandra Kirana Ranting BS 1 Denzipur I/BB sehingga saya harus tahu peran, tugas dan tanggung jawab saya sebagai anggota Persit Kartika Chandra Kirana Ranting BS 1 Denzipur 1 PD I/BB dan sebagai Ketua Seksi Organisasi.

  1. Dimana saya

Saat itu saya berada di kepengurusan Persit Kartika Chandra Kirana Ranting BS 1 Denzipur 1 PD I/BB sebagai Ketua Seksi Organisasi Persit Kartika Chandra Kirana Ranting BS 1 Denzipur 1 PD I/BB, saya harus bisa menempatkan diri saya sebgai Ketua Seksi Organisasi Persit Kartika Chandra Kirana Ranting BS 1 Denzipur 1 PD I/BB dan sebagai istri dari Perwira Abituren Akmil.

  1. Apa Yang Harus Saya lakukan

Saat itu saya sebagai anggota Persit, khususnya di dalam lingkungan Persit saya harus bersikap dewasa, wawas diri, bertanggung jawab dan beretika serta sopan dan santun, menghormati senior dan menghargai junior. Sebagai seorang anggota Persit, otomatis saya wajib mengikuti semua kegiatan yang diadakan oleh Pengurus Persit Kartika Chandra Kirana Ranting BS 1 Denzipur 1 PD I/BB.

Dan pada umumnya saya harus bersikap sopan, santun dan menjunjung tinggi etika ketika saya berada di lingkungan masyarakat setempat.

Ketika saya menerapkan ketiga hal tersebut di dalam lingkungan Persit maupun di lingkungan masyarakat, semuanya akan berjalan dengan baik. Walaupun pada kenyataannya banyak kejadian-kejadian di luar dugaan saya namun saya tetap bersyukur bahwa saya masih bisa menjalani semuanya dengan baik.

Alhamdulillah pada bulan April tahun 1998 kami diberi amanah menjadi calon ayah dan ibu. Tentunya pada masa awal kehamilan bukanlah hal yang mudah untuk saya jalani, apalagi ini merupakan kehamilan pertama saya. Saya merasakan ngidam yang luar biasa, mual, dan pusing yang sangat luar biasa. Jangankan untuk makan, tercium bau masakan saja saya sudah mual dan pusing. Saat itu saya hanya bisa makan nasi putih dan sambal saja, sedangkan untuk mengkonsumsi makanan yang lain seperti sayur dan lauk pauk serta buah-buahan saat itu perut saya menolak dan pada akhirnya tidak bisa saya konsumsi.

Dengan berjalannya waktu dan tentunya tidak mudah bagi saya menjalani masa ngidam ini, selain juga memang kurang mendapat support serta edukasi dari orang-orang di sekeliling saya dan sulitnya mendapatkan informasi saat itu. Karena informasi, sarana dan prasana di daerah saya sulit didapat, yang mana untuk menyaksikan siaran televisi saja hanya didapat dengan menggunakan parabola, sedangkan kami saat itu belum sanggup membeli parabola, hanya ada antena televisi biasa yang hanya dapat menangkap sinyal dari siaran TVRI saja.

Saat kehamilan saya memasuki umur 7 bulan, saya mendapatkan berita bapak saya sakit keras dan dirawat di ICU Rumah Sakit. Dengan perasaan sedih dan bingung, saya izin pulang ke Semarang kepada Ibu Ketua untuk menjenguk bapak saya yang sedang sakit. Setibanya di Semarang, setelah melewati 4 jam lebih perjalanan dari Banda Aceh ke Semarang, lelah saya terbayar saat melihat bapak kondisi membaik dan beberapa hari kemudian bapak saya diizinkan pulang dari Rumah Sakit walaupun kondisinya belum betul-betul sehat.

Memasuki usia kehamilan bulan ke delapan, saya merasakan kontraksi yang sangat hebat dalam kandungan saya. Pada hari Jum’at pukul 03.00 wib kedua orang tua saya membawa saya ke RST di Semarang. Saat tiba di rumah sakit, kandungan saya sudah pembukaan 7. Pada hari Minggu malam setelah Adzan Isya’, putri kami yang pertama lahir tepat pada tanggal 14 Desember 1998. Alhamdulillah, anak saya lahir dengan selamat walaupun saat lahir anak saya tidak menangis, karena sudah tertelan air ketuban yang sangat banyak. Tim Dokter berusaha mengeluarkan air ketuban yang tertelan dan membuat bayi kami menangis. Alhamdulillah dengan perjuangan dan kerja keras Tim Dokter akhirnya anak kami bisa menangis dan berhasil mengeluarkan air ketuban. Saat itu anak kami dalam posisi perawatan khusus dari tim Dokter selama 3 hari karena ada kelainan kromosom pada bayi yang didapat dari hasil rontgen kaki yang ternyata tulang kedua telapak kaki kurang sempurna. Masing-masing telapak kaki hanya memiliki 2 buah tulang. Hal ini membuat saya dan suami sangat shock dan terpukul atas keadaan putri kami.

Petunjuk dari Tim Dokter Orthopedi, bayi kami harus menjalani fisioterapi untuk menguatkan saraf-saraf yang ada di sekitar telapak kaki, hanya itu yang kami lakukan untuk bayi kami.

Setelah bayi kami menjalani perawatan khusus selama 3 hari di RST Semarang, kami kembali pulang ke rumah orang tua. Kami memberi nama putri kami Levita Ayu Anesya Putri. Tiap seminggu sekali kami ke Rumah Sakit Karyadi untuk menjalani fisioterapi bayi kami. Saat Nesya (panggilan bayi kami) berumur 3 bulan, bapak saya meninggal karena sakit jantung. Rasa sedih dan kecewa karena keadaan putri kami belum hilang, sekarang ditambah ayah saya meninggalkan saya selama-lamanya. Tetapi kehidupan harus tetap saya jalani dengan hati yang kuat dan bersabar. Bersyukur saya memiliki suami yang selalu mendukung saya setiap saat.

Setelah 40 hari bapak meninggal, saya dijemput suami untuk kembali ke Lhoknga, Aceh Besar dengan membawa serta Nesya. Seiring berjalannya waktu, kami mondar-mandir Aceh-Semarang untuk melakukan fisioterapi di Rumah Sakit Kariyadi Semarang guna pengobatan Nesya yang terkadang saya jalani dengan menggunakan transportasi laut dan udara. Terkadang suatu saat saya melakukan perjalanan kembali ke Aceh setelah terapi Nesya menggunakan jalan darat, dari Semarang ke Jakarta menggunakan travel menuju Pelabuhan Tanjung Priok yang dilanjutkan dengan menggunakan Kapal Laut Sinabung tujuan Belawan, Sumatera Utara, dari Belawan menggunakan mobil angkutan menuju Bandara Polonia di Medan untuk melanjutkan perjalanan menuju Banda Aceh menggunakan pesawat. Jadi, saat saya membawa Nesya terapi ke Semarang tidak selalu menggunakan pesawat karena keterbatasan dana yang kami miliki saat itu. Mengingat ongkos pesawat saat itu dari Banda Aceh-Medan-Jakarta-Semarang yang harus beberapa kali transit sangat mahal saat itu, jadi saya harus pandai mengatur keuangan kami. Saya sudah beberapa kali mengantar Nesya terapi ke Semarang, saat kami ada di Semarang sedang terapi Nesya, bapak mertua memberitahukan berita seorang Dokter yang bisa mengobati semua penyakit dan saya tertarik untuk mencoba berobat di Dokter tersebut. Dengan hati yang berserah diri kepada Allah SWT SWT dan memohon atas RidhoNya atas kesembuhan Nesya. Akhirnya saya meninggalkan Nesya di Semarang bersama ibu dan kakak saya untuk melanjutkan pengobatan di Dokter tersebut karena Nesya harus melaksanakan pengobatan secara intensif, tidak bisa terputus pengobatannya, sementara saya harus kembali ke Asrama karena tanggung jawab saya sebagai anggota Persit untuk mendampingi suami bertugas, apalagi di Daerah Operasi Militer.

Hari-hari kami lalui berdua di Asrama tanpa kehadiran Nesya, hanya do’a yang selalu kami panjatkan setiap selesai sholat dan di sepertiga malam sholat saya untuk kesembuhan Nesya. Waktu berjalan dan kondisi politik saat itu sangat panas, dari pergantian Presiden Soeharto ke Bapak B.J. Habibie pada tahun 1998, kemudian referendum yang diberikan Presiden B.J. Habibie kepada Timor Timur dan menghasilkan kemerdekaan bagi Timor Timur dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdampak pada suasana politik yang semakin memanas di Aceh yang saat itu masih berstatus Daerah Operasi Militer menuntut untuk referendum. Berbagai upaya pendekatan dan loby-loby politik pejabat pusat kepada pemerintah daerah Aceh belum menghasilkan kesepakatan yang mengakibatkan semakin panas situasi politik saat itu di Aceh. Peran serta militer di Aceh berkurang drastis. Sekelompok orang yang menamakan diri GAM (Gerakan Aceh Merdeka) mulai menunjukan diri dan beraksi. Kondisi ini membuat TNI dan keluarga TNI tidak berani menunjukan identitasnya karena GAM yang semakin membabi buta. Kegiatan Persit diluar Asrama pun berkurang drastis karena kondisi yang tidak kondusif. Anggota TNI dan keluarga menjadi target utama GAM untuk mengusir TNI dari Tanah Rencong Aceh karena referendum yang mereka minta tidak disetujui oleh pemerintah pusat. Karena kondisi politik saat itu sangat panas dengan wilayah Aceh yang sangat luas, kebijakan Komando Atas untuk membentuk Komando Daerah Militer di Aceh tepatnya pada tanggal 5 Februari 2002, Kodam Iskandar Muda terbentuk kembali. Walaupun telah terjadi peralihan status, situasi politik tetap memanas. Pihak GAM  yang diketuai Dr. Tengku Hasan Muhammad di Tiro belum mencapai kesepakatan yang terus memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari Indonesia.

Komando Atas atau perintah Bapak Pangdam, setiap satuan harus memfasilitasi para anggotanya untuk kegiatan keluar Ksatrian atau Asrama mengingat situasi yang belum kondusif. Komandan Satuan membuat jadwal dan memfasilitasi anggota dan Ibu Persit yang akan melakukan kegiatan di luar Ksatrian seperti anggota yang berdinas keluar Ksatrian, ibu-ibu yang akan ke Rumah Sakit, ke Dokter Spesialis dan berbelanja kebutuhan sembako dengan menyediakan alat transportasi serta pengawalan. Anggota dilarang pergi seorang diri tanpa teman dan pengawalan. Begitupun dengan kegiatan Ibu-ibu Persit harus sepengetahuan Komandan Satuan dan Ketua Persit serta harus dalam pengawalan dinas. Kebijakan ini diambil karena dampak politik yang semakin panas serta banyaknya anggota TNI dan keluarga yang menjadi korban dari keganasan GAM yang tidak pandang bulu.

Di saat situasi yang sedang tidak kondusif saya mendapat telepon dari Ibu di Semarang di ruang Piket Ksatrian, saya mendapatkan kabar yang sangat membahagiakan dari Ibu saya dan di luar dugaan, bahwa Nesya yang sebelumnya divonis Tim Dokter Orthopedi tidak bisa berjalan, Alhamdulillah karena Kuasa Allah SWT dan terapi yang teratur membuahkan hasil Nesya dapat berjalan. Dengan gemetar dan terharu, saya sampai tidak bisa berkata-kata mendengar berita bahagia tersebut. Tanpa sadar air mataku jatuh, sujud syukur langsung saya lakukan atas Rahmat dan Karunia Allah SWT kepada kami saat itu. Hanya tangisan bahagia yang bisa aku lakukan saat itu. Saya kembali dari Piket Ksatrian dengan hati yang bahagia.

Alhamdulillah di usia Nesya 3 tahun yang saat itu tahun 2001, terapinya membuahkan hasil. Sesampainya di rumah, saya menceritakan berita tersebut kepada suami dengan haru dan bahagia. Rasanya tidak terbendung keinginan saya untuk segera pulang ke Semarang melihat Nesya yang sekarang sudah bisa berjalan. Kemudian saya izin kepada suami untuk pulang ke Semarang dan disetujui suami. Tanpa berpikir panjang, saya kemudian izin kepada Ibu ketua untuk menjenguk anak saya di Semarang. Tentunya berkecambuk berbagai rasa dalam hati saya, bahagia sudah pasti, terharu tentu ada karena saat itu saya sebagai Ibu tidak bisa selalu mendampingi Nesya untuk terapi karena tugas dan tanggung jawab saya sebagai istri prajurit yang harus selalu mendampingi suami berdinas, tetapi tidak ada penyesalan dalam diri saya ketika memutuskan meninggalkan Nesya di Semarang untuk kepentingan terapinya karena saat itu. Alhamdulillah karena keputusan saya juga Nesya mendapatkan perawatan yang terbaik dan akhirnya bisa berjalan.

Setibanya di Semarang, rasa tidak sabar untuk bertemu Nesya semakin memuncak. Semua rasa yang berkecamuk dalam hati, seperti bahagia, haru, ingin menangis, ingin menjerit semua tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kupeluk erat Nesya hingga kumenangis bahagia ketika aku jumpa Nesya di Bandara untuk menjemputku bersama Ibu dan Kakak saya. Selama perjalanan menuju ke rumah Ibu, tidak kulepas pelukan dan kupangku erat Nesya sambil kucium pipinya berkali-kali, betapa perjuangan yang tidak mudah ini akhirnya membuahkan hasil di luar dugaan kami. Kami pun percaya kepada kebesaran Allah SWT dan janji Allah SWT itu pasti kepada HambaNya yang memohon dengan tulus dan berusaha pasti Allah SWT akan kabulkan, Kun Faya Kun.

Dengan pengalaman hidup yang saya alami ini, saya belajar menjadi pribadi yang lebih baik dari yang kemarin, lebih dewasa, dan lebih memahami bahwa masalah yang dihadapi setiap orang berbeda-beda. Hal itu pulalah yang akan menjadikan kita bisa bersikap bijak dan bersabar. Alhamdulillah, Allah SWT sudah memberikan pelajaran hidup yang begitu berharga untuk saya dan suami, agar saya pandai bersyukur, tidak sombong dan lebih dewasa. Anak adalah titipan Allah SWT, karunia yang tidak terhingga, bagaimanapun keadaan anak kita. Dengan mencurahkan kasih sayang, perhatian dan mendidik anak dengan cinta adalah wujud rasa bersyukur dan terima kasih kita kepada Allah SWT yang telah memberikan titipan dan amanahnya yaitu anak kepada kita. Insha Allah, Dia akan memudahkan setiap langkah dan rezeki kita.

Seminggu kemudian saya berniat membawa Nesya kembali ke Aceh. Karena terbatasnya kondisi keuangan kami, saya dan Nesya kembali ke Aceh dari Semarang ke Tanjung Priok menggunakan travel, dilanjutkan dengan naik kapal ke Pelabuhan Belawan, kemudian ke Bandara Polonia Medan menggunakan transportasi umum dan dilanjutkan menggunakan pesawat terbang dari Bandara Polonia ke Bandara Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar. Suami menyambut kami dengan suka cita dan bahagia yang tidak terkira di Bandara Iskandar Muda, Blang Bintang. Setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang, akhirnya sampailah kami di Asrama Denzipur 1 Lhoknga.

Alhamdulillah di awal tahun 2002, suami saya melanjutkan pendidikan Selapa (Sekolah Lanjutan Perwira) dan saat itu saya mengandung anak kedua. Atas petunjuk Komandan Denzipur 1/DA yang pada saat itu dijabat oleh Mayor Czi Rahmat Setia Wibawa, saya disarankan untuk pulang ke Semarang, mengingat kondisi politik saat itu belum kondusif. Alhamdulillah, pada tanggal 12 Agustus 2002 di saat suami saya masih melaksanakan pendidikan Selapa, kami dikaruniai putra kedua yang kami beri nama Muhammad Rafi Althaf dan suami menyelesaikan pendidikan di akhir bulan November.

Tuntas sudah pengabdian suami dan saya dalam mendampingi suami di ujung barat Indonesia yang saat itu masih merupakan daerah konflik. Selanjutnya suami saya meneruskan pengabdiannya sebagai prajurit di Pusat Pendidikan Zeni Angkatan Darat yang terletak di Kota Bogor.

          Seketika aku terkejut dengan rangkulan tangan di bahuku yang begitu kulihat ternyata rangkulan hangat dari Mas Eko yang telah membangunkanku dari lamunan panjang 24 tahun silam. Seakan waktu begitu cepat berlalu, tak terasa hampir 25 tahun usia pernikahan kami. Dan saat ini saya mendampingi Mas Eko di ujung Timur Indonesia sebagai Ketua Cabang IV Slogdam XVII PD XVII Cenderawasih dan suami menjabat sebagai Asisten Logistik Kasdam XVII/Cenderawasih. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kami dalam pengabdian kami di ujung Timur Indonesia.

HEN TECAHI YO ONOMI T’MAR NI HANASED




View all comments

Write a comment